Saturday, January 8, 2011

Mengevaluasi Sistem Presidensial

Republika, Rabu, 05 Januari 2011 pukul 10:08:00

Djayadi Hanan
Kandidat Doktor Ilmu Politik, Ohio State University, USA;
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Jakarta

Evaluasi terhadap sistem presidensial di Indonesia sepanjang 2010, terutama dari para pengamat, terkesan pesimistis. Sistem ini dianggap tidak berjalan, kepemimpinan presidensial lemah, dan lembaga-lembaga politik beserta aktor di dalamnya tersandera oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek.

Penilaian semacam ini, meski banyak benarnya, terkesan kurang utuh. Salah satu masalahnya adalah kurang jelasnya kerangka evaluasi yang digunakan.
Kerangka evaluasi yang tepat setidaknya mengandung tiga aspek. Pertama, tingkat ketegangan hubungan eksekutif (presiden) dan legislatif. Kedua, stabililitas demokrasi selama pemerintahan berlangsung.

Dan ketiga, tingkat pencapaian agenda-agenda pemerintahan, terutama pembuatan undang-undang. Meski masih bersifat umum, kerangka ini memungkinkan kita melakukan penilaian secara lebih menyeluruh sehingga gambar yang kita peroleh tidak semuanya bernuansa pesimistis.

Kasus dana talangan Bank Century merupakan puncak ketegangan yang terjadi antara Presiden dan DPR sepanjang 2009-2010. Dari awal, kedua pihak bersikukuh pada sikap masing-masing. Kegagalan Presiden menjaga soliditas koalisinya berakhir dengan keputusan DPR yang menyalahkan kebijakan tersebut.

Di sisi lain, Presiden tetap berkeyakinan bahwa kebijakan itu benar dan penanggung jawab langsungnya-Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Boediono (ketika itu--Red)-tidak dapat disalahkan.

Kasus Bank Century menciptakan kondisi yang potensial untuk menjadikan hubungan Presiden dan DPR terkena gridlock (jalan buntu). Karena, periode pemerintahan Presiden tidak bergantung pada DPR, Presiden dapat saja mengabaikan DPR dan beralih pada berbagai perangkat konstitusional yang dia miliki untuk menjalankan pemerintahan.

Sebaliknya, DPR dapat terus menghasilkan keputusan-keputusan yang menghalangi kebijakan Presiden. Hasilnya adalah jalan buntu. Presiden dan DPR tidak dapat bekerja optimal, tetapi keduanya baru bisa diganti pada saat jadwal pemilihan umum tiba.

Akan tetapi, ketegangan legislatif-eksekutif akibat kasus Bank Century tidak membawa akibat lebih jauh berupa gridlock di antara keduanya. Pascakeputusan DPR, Presiden ternyata berhasil melakukan konsolidasi koalisi. Sistem kerja koalisi bahkan lebih teroganisasi dengan terbentuknya sekretariat gabungan (setgab).

Pada saat yang sama, Presiden mengambil jalan kompromi soal kedudukan Menteri Keuangan. Sri Mulyani diganti dan secara politik kasus Bank Century selesai. Presiden dapat meneruskan kembali agenda-agendanya bersama DPR hingga menjelang berakhirnya tahun 2010 lalu.

Ada dua jenis ketegangan yang dapat mengancam stabilitas demokrasi. Pertama, ketegangan vertikal antara pusat dan daerah. Dan kedua, ketegangan horizontal baik di tingkat masyarakat maupun pemerintah (antarlembaga negara) termasuk antara eksekutif dan legislatif.

Di tingkat masyarakat, masih terjadi ketegangan antarkelompok agama. Contoh yang menonjol adalah kasus Ahmadiyah. Namun, tingkat ketegangan inipun tidak sampai mengancam stabilitas demokrasi.

Meski mendapat kritik dari berbagai pihak, pemerintah bersama aparat penegak hukum relatif berhasil menangani kasus-kasus seperti ini.

Yang potensial mengancam stabilitas demokrasi adalah kasus RUU Keistimewaan Yogyakarta. Kasus ini menarik perhatian karena terkait dengan redefinisi hubungan pusat dan daerah serta redefinisi hubungan historis antara negara dan kelompok masyarakat (Kesultanan Yogyakarta).

Perdebatan terjadi di dua tingkat sekaligus: tingkat konseptual soal makna demokrasi; dan tingkat empiris soal sejarah dan fakta politik di lapangan. Kasus ini mudah menjadi pemicu ketegangan yang tinggi antara pusat dan daerah.

Melihat perkembangan kasus ini, tampaknya tidak akan terjadi ketegangan yang berakhir dengan jalan buntu. Sikap para elite, terutama Presiden dan Sultan lebih mengarah kepada sikap akomodatif/kompromi. Partai-partai di DPR lebih banyak yang memiliki sikap berpihak kepada masyarakat Yogyakarta ketimbang sikap pemerintah. Walhasil, stabilitas demokrasi secara umum tidak akan terganggu.

Kinerja pemerintahan, terutama legislasi, masih rendah dan sering menjadi sorotan serta kritik dari masyarakat. Meski secara formal kewenangan legislasi dimiliki DPR, dalam praktiknya legislasi merupakan proses dan produk bersama DPR dan Presiden. Karena itu, kinerja legislasi bermanfaat untuk mengukur kinerja pemerintahan.

Kritik yang paling tajam tertuju pada dua hal. Pertama, kinerja kuantitatif. DPR dan pemerintah menyepakati 70 RUU untuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Namun, hanya delapan di antaranya yang selesai dibahas. Terlihat bahwa kinerja legislasi pemerintahan rendah karena tingkat pencapaiannya hanya sekitar 10 persen.

Kedua, sikap/tingkah laku dan strategi elite pemerintahan. Di tingkat eksekutif, Presiden banyak disoroti soal penanganan berbagai bencana yang dinilai lamban dan terkesan hanya membangun citra. Polemik seputar komentar Presiden tentang monarki dalam konteks pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta juga menonjol. Di tingkat DPR, sikap dan strategi para elite juga mendapat sorotan tajam.

Sebastian Salang dari Formappi, misalnya, menyatakan bahwa DPR banyak melakukan blunder terutama pascakasus Century. Usulan-usulan legislasi DPR tentang dana aspirasi, dana desa, rumah aspirasi, rumah dinas, sampai pembangunan gedung baru yang mencitrakan DPR tidak berpihak kepada rakyat, dinilai sebagai bagian dari berbagai blunder tersebut.

Rendahnya kinerja pemerintahan, terutama di bidang legislasi ini, tentu tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan sistem presidensial. Rendahnya tingkat pencapaian pembahasan RUU, misalnya, tidak disebabkan oleh kesulitan membangun kompromi antara DPR dan Presiden, melainkan terkait langsung dengan kapasitas kelembagaan.

Isi Prolegnas lebih banyak berupa daftar keinginan (wish list) daripada rencana program yang matang. Sebagai contoh, dari 34 RUU yang diusulkan pemerintah saja, hanya sembilan yang sudah berupa draf lengkap.

Walhasil, evaluasi ringkas terhadap tiga aspek kerangka yang saya sebutkan di atas menunjukkan potret campuran (mix) dari kinerja sistem presidensial multipartai di Indonesia. Gambar besarnya mengindikasikan bahwa sistem ini berjalan.

Demokrasi tetap stabil, dalam pengertian tidak ada kebuntuan yang berarti dalam hubungan eksekutif dan legislatif. Namun, gambar lebih detailnya menunjukkan kinerja pemerintahan yang masih rendah. Hal terakhir ini tentu perlu ditelusuri lebih jauh.

No comments: