Thursday, July 22, 2010

MEMBANGUN SISTEM PARLEMEN INDONESIA YANG PAS: POTRET LEMBAGA LEGISLATIF PASCA ORDE BARU

Tabloid Inspirasi, Selasa, May 25, 2010
Djayadi Hanan

Pengantar

Judul di atas menimbulkan satu pertanyaan penting: Apa yang dimaksud dengan sistem parlemen yang pas bagi sebuah negara? Pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana mencapai atau membangun sistem parlemen yang pas tersebut?

Tidak ada jawaban tunggal dan lengkap atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pengalaman berbagai negara juga menunjukkan banyaknya variasi jawaban atas kedua pertanyaan penting itu. Semuanya tampak kontekstual, tergantung pada situasi ditiap negara dan masyarakat baik dari sisi sejarah, konfigurasi politik, maupun pilihan-pilihan kelembagaan yang tersedia. Akan tetapi kita dapat menarik dua kesimpulan umum. Pertama, lembaga legislatif atau parlemen dapat dikatakan pas bagi sebuah negara apabila ia dapat berperan penting dalam pembuatan kebijakan negara. Parlemen yang berperan dalam kebijakan negara adalah parlemen yang tidak hanya menjadi tukang stempel (rubber stamp) inisiatif kebijakan eksekutif/presiden.

Kedua, lembaga legislatif yang pas bagi sebuah negara adalah lembaga legislatif yang dapat mewakili rakyat secara efektif. Ini berarti, parlemen tidak saja dapat melambangkan semua kekuatan sosial politik masyarakat, tapi juga mampu menyalurkan aspirasi masyarakat dan menerjemahkannya menjadi kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.

Tulisan ini berupaya memotret dengan ringkas parlemen Indonesia dari sudut pandang signifikansi peran dan efektifitasnya sebagai lembaga perwakilan demokratis. Penulis berupaya sedapat mungkin menempatkan pembahasan ini dalam konteks yang lebih luas yang memungkinkan kita melihat parlemen Indonesia diantara parlemen lainnya di dunia. Parlemen dalam tulisan ini diartikan secara longgar sebagai lembaga perwakilan rakyat. Pendefinisian secara longgar ini diperlukan mengingat Indonesia mengenal istilah MPR di samping DPR. Dalam tulisan ini MPR dan DPR dianggap sama sebagai lembaga perwakilan, di samping memang anggota MPR sebagian besar adalah DPR. Indonesia juga mengenal DPD. Namun karena ia tidak memiliki kewenangan pembuatan legislasi, maka DPD tidak menjadi pembahasan ketika membicarakan parlemen dalam tulisan ini.

Empat Fungsi Parlemen

Parlemen atau lembaga perwakilan demokratis dimanapun sesungguhnya dimaksudkan untuk melaksanakan empat fungsi utama (Barkan, 2009). Pertama, menjadi perwakilan masyarakat. Parlemen adalah mekanisme kelembagaan, melaluinya masyarakat mewujudkan pemerintahan yang representatif sehari-hari. Ia hadir untuk mewakili segmen-segmen masyarakat, termasuk membawa konflik masyarakat ke arena parlemen untuk dicarikan solusinya secara demokratis dan non kekerasan.

Kedua, membuat legislasi atau undang-undang. Pada level yang minimum ia dapat berarti sekedar meloloskan undang-undang. Pada level yang lebih signifikan, parlemen ikut membuat kebijakan publik, berpatner dengan eksekutif, dan menggunakan secara optimal input dari masyarakat sipil.

Ketiga, parlemen melakukan pengawasan terhadap eksekutif untuk memastikan bahwa kebijakan yang telah disetujui dilaksanakan dengan sesungguhnya. Keempat, parlemen, secara kelembagaan maupun individu, melayani konstituen. Di parlemen yang menggunakan sistem pemilihan distrik, layanan terhadap konstituen jelas. Tiap anggota parlemen mewakili satu distrik, sehingga tugas dan fungsinya serta konstituen mana yang harus dia layani tergambar dengan gamblang. Di parlemen yang menggunakan sistem proporsional, seringkali layanan konstituen ini tidak begitu jelas batasan-batasannya. Apapun keadaannya, fungsi layanan konstituen bermaksud memastikan bahwa yang diperjuangkan anggota parlemen memiliki akar yang kuat, yakni berbasis pada kebutuhan masyarakat.

Parlemen Indonesia Pasca Orde Baru
A. Parlemen 1999-2004

Parlemen 1999-2004 memainkan peran penting dalam proses transisi demokrasi Indonesia. Diperiode ini parlemen tidak hanya berhasil merampungkan proses amandemen konstitusi, tetapi juga meletakkan kerangka hukum dan politik demokrasi Indonesia dimasa berikutnya.

Parlemen ini adalah hasil pemilihan umum demokratis tahun 1999. Undang-undang tentang Partai Politik dan Pemilu telah memungkinkan semua kekuatan politik besar dan kecil untuk berkompetisi secara demokratis. Elite-elite lama, baik yang menjadi pendukung rejim Suharto maupun yang dulunya mengalami represi, melakukan konsolidasi dalam berbagai bentuk partai politik. Elite-elite baru, misalnya yang tergabung dalam partai berbasis kaum muda terdidik, Partai Keadilan (PK – kini PKS), juga memperoleh jalannya memasuki parlemen. Dengan sistem pemilu proporsional, 48 partai politik bertarung, menghasilkan enam partai yang memperoleh kursi antara 2 dan 34 persen. Partai-partai lainnya juga terwakili, dengan jumlah kursi yang lebih sedikit. Dapat dikatakan bahwa anggota-anggota parlemen periode ini mewakili berbagai latar belakang sosial maupun profesional (Ziegenhain, 2008: 113-122). Ringkasnya, parlemen telah dapat melambangkan berbagai aliran dan kekuatan politik masyarakat.

Dari segi struktur kelembagaan, parlemen periode ini masih merupakan kelanjutan dari era Orde Baru. Mekanisme kerjanya (seperti peraturan tata tertib), termasuk proses pengambilan keputusan, masih tidak terlalu berbeda dengan masa lalu. Jika kita bandingkan Peraturan Tata Tertib versi 2001 dengan versi 1997, tidak banyak perbedaan penting yang dapat kita lihat. Yang berbeda adalah dimasukkannya hak dan tugas parlemen hasil amandemen UUD 1945. Pemungutan suara (voting) juga sudah diakomodasi dan secara formal dianggap sama pentingnya dengan musyawarah-mufakat. Kewenangan parlemen secara umum masih berdasarkan aturan-aturan yang belum berubah di UUD 1945, yakni parlemen yang berciri setengah parlementer. Dengan demikian, parlemen periode ini merupakan parlemen yang sangat kuat (termasuk memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan presiden) dan legitimasinya tinggi (karena terpilih secara demokratis). Kuatnya parlemen secara politik memang satu hal yang diperlukan dalam era awal transisi demokrasi

Salah satu ciri penting parlemen Indonesia adalah konsosiasional yakni “kompromi berdasarkan mekanisme mediasi dan keputusan bersama dalam penentuan agenda dan kerja lelgislatif, serta pentingnya peran komisi dan sub-komisi dalam proses legislatif” (diterjemahkan bebas dari Liebert, 1990: 17-18). Amandemen konstitusi yang dilakukan secara gradual dan selesai pada 2004 (Ellis, 2007: 21-40) dapat menggambarkan ciri ini. Proses amandemen ini secara substantif dilakukan oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I MPR dibawah pimpinan Jacob Tobing dari PDIP dengan anggota yang mewakili semua fraksi. Dalam panitia ini semua isu substantif seperti kelembagaan DPR, pemerintahan daerah, hak azazi manusia, kewarganegaraan, dan keamanan, dibahas. Kecenderungan utama dari proses amandemen ini adalah upaya untuk membatasi dominannya kekuasaan eksekutif dan memperkuat lembaga legislatif. Hasil pembahasan, termasuk sejumlah isu yang tidak dapat dibahas tuntas dikembalikan kepada sidang pleno yang memiliki kata akhir. Dengan mekanisme seperti ini parlemen dapat mencakup proses negosiasi politik maupun substansi yang seluas mungkin.

Isu lain yang penting dalam parlemen periode ini adalah keberadaan militer dalam politik. Telah disetujui dalam parlemen sebelumnya bahwa militer tetap memiliki keanggotaa dilembaga legislatif, dengan jumlah yang berkurang dari 100 menjadi 38 anggota. Ini berarti militerpun tetap terlibat dalam semua proses diparlemen, termasuk ketika membicarakan nasib militer. Hal yang positif dari proses ini adalah hasil akhir harus dianggap sebagai keputusan dari semua kekuatan, termasuk militer. Hal ini membatasi kemungkinan militer melakukan manuver politik diluar proses parlemen untuk menolak hasil keputusan. Hal ini juga memberi kontribusi bagi berhasilnya amandemen.

Pemilihan presiden oleh MPR diperiode ini juga menggambarkan pentingnya peran parlemen dalam proses transisi demokrasi. Pemilihan Gus Dur sebagai presiden pertama di era pasca Orde Baru menggambarkan faksionalisme yang lebih luas, setidaknya dikalangan elite Indonesia secara umum. Faksi Megawati, yang memenangi 34 persen suara, mewakili faksi nasionalis. Sementara faksi Habibie lebih banyak didominasi oleh faksi berbasis Islam. Melalui proses kompromi berbasis musyawarah-mufakat di parlemen, berujung pada terpilihnya Gus Dur. Pentingnya peran parlemen, terutama karena memiliki kewenangan yang kuat, juga ditunjukkan ketika terjadi proses pemakzulan Gus Dur. Isu korupsi yang dituduhkan kepada Gus Dur, setidaknya bagi sebagian pihak, belum begitu jelas. Akan tetapi, terlepas dari baik atau buruknya, parlemen dapat mengakhiri kontroversi tersebut, sehingga proses pemerintahan dan demokrasi dapat terus berlanjut.

Secara spesifik, DPR diperiode ini telah mulai menunjukkan peran pentingnya, terutama dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Kebijakan-kebijakan Presiden Megawati seperti pendanaan renovasi barak militer/polisi sejumlah 30 milyar rupiah ditahun 2002, kunjungan Presiden ke Timor Timur untuk menghadiri perayaan hari kemerdekaannya pada Mei 2002, serta pembelian pesawat tempur dari Rusia, memperoleh kritik dan pembahasan yang tajam dari DPR (Ziegenhain, 2008: 145). Fungsi DPR lainnya, penganggaran dan legislasi, gaungnya belum sekuat fungsi pengawasan. Akan tetapi prosesnya tampak telah lebih dinamis. RUU APBN dan RUU lainnya, menurut UUD 1945 harus dibahas di DPR. Untuk menggambarkan proses ini seorang anggota DPR mengibaratkan proses pembahasan berbagai RUU seperti “perang opini” antara pihak DPR dan pihak Pemerintah.

B. Parlemen 2004 – 2009
Pada periode ini, kesan bahwa parlemen lebih kuat daripada eksekutif tidak ada lagi seiring dengan diterapkannya sistem presidensial murni di Indonesia. Karena itu, tantangan utama parlemen periode ini adalah bagaimana melaksanakan check and balance terhadap Eksekutif. Namun demikian, posisi parlemen tetaplah kuat, terutama karena ia memiliki kewenangan sebagai lembaga pembuat undang-undang. Parlemen juga tetap memiliki fungsi pengawasan sebagai instrumen kelembagaan untuk mengkritisi Pemerintah. Lebih dari itu, konstitusi memberikan kewenangan tambahan kepada parlemen untuk terlibat dalam penunjukan duta besar, pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menerima/menolak penunjukan Hakim Agung dan anggota Komisi Yudisial, menunjuk tiga dari sembilan anggota Hakim Konstitusi, dan sejumlah kewenangan lainnya. Disisi lain, Presiden, karena dipilih secara langsung melalui Pemilu, adalah presiden yang kuat, jauh lebih kuat dibanding presiden dari era sebelumnya.

Peran penting parlemen, setelah kerangka umum demokrasi diletakkan di periode 1999-2004, adalah memastikan agar semua aturan main tersebut ditegakkan melalui fungsi pembuatan undang-undang serta bagaimana membuatnya diterima oleh semua pihak masyarakat. Fungsi legislasi parlemen menjadi sangat penting disini. Rekam jejak parlemen dalam konteks ini bersifat campuran antara keberhasilan dan kegagalan.
Salah satu contoh sukses adalah berhasil disepakatinya undang-undang tentang pemerintahan Aceh yang terutama berisi pemberian otonomi khusus kepada daerah Aceh. Setelah perjanjian damai antara pemerintah pusat dan pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka) tercapai pada Juli 2005, muncul satu keraguan apakah pihak parlemen akan meratifikasi perjanjian tersebut atau tidak (Pusat Data Tempo, Juli 2005). Juga terdapat pertanyaan mengenai sikap dan posisi pihak militer. Akan tetapi, melalui berbagai konsultasi dan pembahasan intensif baik dengan kelompok-kelompok local di Aceh, maupun dengan pihak-pihak dilevel nasional, parlemen akhirnya berhasil menyepakati Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh pada bulan Agustus 2006, satu tahun setelah perjanjian damai disepakati. Kasus ini, secara umum, menunjukkan kemampuan parlemen dalam melakukan integrasi proses dan kekuatan-kekuatan politik dari pemerintah pusat, pihak GAM, militer, serta berbagai kelompok local masyarakat sehingga proses pelembagaan aturan-aturan demokrasi tetap berjalan. Keluarnya undang-undang ini juga memastikan bahwa salah satu tantangan terhadap kesatuan nasional, satu elemen penting untuk bertahannya demokrasi (Linz dan Stepan, 1996) dapat diatasi. Ini dikarenakan kemampuan parlemen dalam mengintegrasikan kelompok separatis (dalam hal ini GAM) kedalam proses politik dalam kerangka nasional Indonesia.

Akan tetapi, cerita relatif sukses seperti diatas, bukanlah cerita dominan dalam parlemen periode ini. Satu penelitian dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyimpulkan bahwa kinerja legislasi parlemen masih rendah (Susanti, 2007). Di tahun 2005 parlemen menyelesaikan 14 dari 55 undang-undang yang ditargetkan. Hanya dua dari 14 undang-undang ini yang dapat dikategorikan undang-undang substantif. Lainnya berupa undang-undang pemekaran wilayah. Di tahun 2006, dari 76 undang-undang yang ditargetkan, hanya 39 yang berhasil diselesaikan. Sekitar separuh dari yang berhasil diselesaikan ini merupakan undang-undang tentang pemekaran wilayah. Contoh lain adalah tentang Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang sebenarnya telah diagendakan sejak 2002, memerlukan dua periode parlemen sampai ia diselesaikan pada tahun 2008.

Proses legislasi yang lambat, sekalipun konstitusi menuntut parlemen sebagai pusat pembuatan undang-undang, tampaknya diakibatkan oleh sejumlah masalah kelembagaan di DPR (ibid). Pertama, prosedur legislasi terlalu berfokus pada proses pembahasannya, dan tidak memperhatikan proses secara keseluruhan termasuk persiapan, pembahasan, pengundangan, dan sosialisasi. Peraturan tata tertib parlemen masih belum mampu mengatasi masalah distribusi tugas diantara anggota secara efektif. Ukuran komisi dan sub-komisi juga masih terlalu besar (lebih dari 50 anggota) sehingga menyulitkan pembahasan, sering tidak quorum, rendah dalam hal keterbukaan, dan sebagainya. Kedua, metode pembiayaan pembahasan rancangan undang-undang yang selama ini berdasarkan jumlah sesi pembahasan mendorong pemborosan. Makin banyak sesi pembahasan, maka makin banyak dana yang harus dikucurkan kepada anggota yang terlibat dalam pembahasan. Ketiga, kapasitas sumberdaya pendukung yang rendah. Anggota parlemen tidak dilengkapi secara memadai dengan staf-staf dengan keahlian khusus untuk menangani berbagai isu undang-undang yang kompleks. Memang telah terdapat tim pendukung yang biasanya membantu pimpinan ditiap komisi dengan keahlian yang bersifat umum seperti ekonomi, hukum dan politik. Belakangan memang sudah mulai ada perekrutan satu staf ahli untuk setiap anggota namun efektifitasnya masih harus dilihat. Ringkasnya, kapasitas parlemen dalam mendukung beban berat fungsi legislasi tampak masih lemah. Salah satu dampaknya, sebagian besar rancangan undang-undang, utamanya yang substantif, masih berasal dari eksekutif.

Seperti diera sebelumnya, fungsi pengawasan parlemen tampak kuat. Dalam berbagai kebijakan dan keputusan, Presiden harus berkonsultasi dan memperoleh otorisasi dari parlemen. Dalam isu-isu yang secara publik populer, misalnya harga bahan bakar minyak, anggota-anggota parlemen tampak aktif dan kuat dalam mengkritisi Presiden. Tampak kuatnya fungsi pengawasan ini kemungkinan disebabkan oleh sifatnya yang reaktif sehingga tidak memerlukan terlalu banyak sumber daya untuk menganalisis kebijakan eksekutif. Dalam fungsi ini juga anggota parlemen dapat menunjukkan dengan mudah posisinya kepada publik: menolak atau menerima kebijakan tertentu. Namun ada sisi lain, yakni kuatnya fungsi ini dapat dipakai oleh anggota DPR untuk meningkatkan posisi tawarnya untuk mengakses sumber-sumber finansial yang ada di eksekutif. Misalnya, ada anggapan umum bahwa setiap kali ada proses penunjukan pimpinan Bank Sentral dan para direktur perusahaan-perusahaan negara, anggota parlemen yang vokal sebenarnya sedang berupaya membangun deal dengan pihak eksekutif, terutama soal uang (Ziegenhain, 2008: 145).

Jadi, berbeda dengan era 1999-2004, parlemen periode 2004-2009, meskipun tampak kuat secara kelembagaan, dalam prakteknya masih lemah dalam berhadapan dengan eksekutif. Masalah lemahnya kinerja legislatif dan kinerja lainnya, dapat kita hubungkan dengan sejumlah masalah kelembagaan yang belum sempat direformasi. Hal ini akan dibahas dibagian akhir tulisan ini.


Hikmat Kebijaksanaan dan Kerakyatan: Relasi Dengan Eksekutif

Sejak 2004, ketika sistem presidensial murni mulai dilaksanakan, lembaga kepresidenan dan parlemen sama-sama kuat. Kekuasaan legislatif dan non-legislatif presiden meliputi kekuasaan anggaran, pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, usulan RUU, pembentukan kabinet, pemberhentian kabinet, dan tidak adanya mosi tidak percaya dari parlemen. Di sisi lain, parlemen memiliki kekuasaan legislasi, anggaran, dan pengawasan serta sejumlah kekuasaan lainnya. Parlemen juga tidak dapat dibubarkan oleh presiden.

Dengan kedudukan yang sama kuat tersebut, sistem presidensial diramalkan oleh banyak teoritisi akan banyak mengalami kebuntuan (gridlock/deadlock) dalam konteks hubungan eksekutif – legislatif (Linz dan Valenzuela, 1994; Shugart dan Carey, 1992). Hal ini dikarenakan kedua belah pihak dapat saling adu kuat dengan kewenangannya masing-masing. Untuk mengatasi hal ini, dalam konteks Indonesia, hikmah kebijaksanaan harus diterjemahkan sebagai keperluan untuk bekerja sama antara eksekutif dan legislatif. Sehingga jembatan antara kedua lembaga untuk berfungsi sehari-hari harus diciptakan. Inilah tampaknya alasan mengapa kalimat persetujuan bersama dalam pembuatan undang-undang yang tercantum dalam konstitusi diterjemahkan sebagai keterlibatan presiden dan parlemen dalam setiap tahap pembuatan undang-undang, baik yang berasal dari usul parlemen maupun usul presiden/eksekutif.

Dalam praktek, proses legislasi secara umum, dan anggaran secara khusus, mengharuskan eksekutif dan legislatif bekerja sama. Bila sebuah RUU merupakan inisiatif parlemen, RUU tersebut harus disampaikan kepada pihak presiden. Selanjutnya presiden akan menugaskan timnya untuk berpatner dengan parlemen untuk melakukan pembahasan melalui penugasan yang disebut Amanah Presiden (AMPRES).
Bila RUU berasal dari Presiden, maka parlemen akan membicarakannya dan menugaskan komisi tertentu atau komisi gabungan (Panitia Khusus – Pansus) untuk membahas RUU tersebut bersama-sama dengan tim dari eksekutif. Mekanisme seperti ini memungkinkan negosiasi multi-track yang memungkinkan kedua belah pihak menyelesaikan perbedaan-perbedaan atau pertentangan-pertentangan secara tahap demi tahap. Proses hikmah kebijaksanaan ini membuat kemungkinan adanya kebuntuan dapat dikurangi sehingga kekhawatiran para teoretisi tersebut dapat diminimalisasi.

Setidaknya ada dua sisi buruk dari mekanisme ini. Pertama, mekanisme ini menciptakan situasi saling mengunci (interlocking) antara kedua pihak. Dengan kata lain, pihak yang satu akan bereaksi terhadap inisiatif dari pihak lain, dan akan memilih reaksi yang memungkinkan mereka bekerjasama. Dampaknya, kedua pihak akan cenderung membawa usulan-usulan yang tidak kontroversial atau yang paling mudah disetujui pihak lain. Dampak selanjutnya adalah pada rendahnya kualitas legislasi. Adalah kenyataan umum kalau legislasi di Indonesia banyak sekali yang mengandung klausul yang menyerahkan aturan yang lebih rinci kepada peraturan dibawah undang-undang. Biasanya klausul ini mudah muncul karena pembicaraan tentang detail akan lebih banyak menimbulkan reaksi ketimbang membahas aturan-aturan yang bersifat umum saja.

Kedua, model hikmah kebijaksanaan ini seringkali melupakan rakyat. Dengan kepentingan untuk lebih banyak bekerjasama, seringkali negosiasi antara eksekutif dan legislatif dilakukan melalui kesepakatan-kesepakatan tertutup (behind closed door). Kesepakatan-kesepakatan yang diambil seringkali lebih bersifat ad hoc, didasari oleh kepentingan individual atau kelompok.

Masalah/Tantangan Parlemen Indonesia:

Ada sejumlah masalah/tantangan parlemen Indonesia yang perlu segera diselesaikan. Pertama,
meskipun memiliki kewenangan untuk membahas dan mengesahkan APBN setiap tahun, ketika menyusun anggaran operasionalnya sendiri, parlemen masih sangat tergantung kepada menteri keuangan (Saefullah., dkk., 2007). Berdasarkan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, pengelolaan anggaran parlemen menjadi tanggungjawab sekretariat jenderal. Setiap tahun, atas nama parlemen, sekretariat jenderal ikut menegosiasikan usulan anggaran parlemen dengan menteri keuangan. Hal ini membuat parlemen secara keuangan tergantung dengan pihak eksekutif, suatu hal yang aneh mengingat parlemenlah yang harus membahas dan mengesahkan usulan RAPBN dari pihak eksekutif.

Keanehan ini dapat pula menjadi sumber permainan politik. Misalnya, pihak eksekutif dapat saja menerima semua usulan anggaran dari parlemen, dengan syarat parlemen nantinya akan menerima semua usulan anggaran eksekutif tanpa banyak kritik atau pembahasan substantif dari parlemen. Salah satu kenyataan dari hal ini misalnya, usulan anggaran dari eksekutif umumnya selalu diterima di parlemen, sekalipun ada persoalan besar seperti ketidakpatuhan pada konstitusi yang mensyaratkan 20 persen anggaran dialokasikan untuk pendidikan. Mahkamah Konstitusi telah beberapa kali membuat keputusan yang menyatakan bahwa UU APBN tidak memenuhi amanat konstitusi karena tidak mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan.

Masalah kedua adalah sekretariat jenderal parlemen sebagai lembaga pendukung utama kerja parlemen masih merupakan bagian dari eksekutif. Penunjukan Sekretaris Jenderal memang diusulkan oleh Pimpinan Parlemen namun secara administratif kepegawaian dia berada dibawah Sekretariat Negara. Pengisian staf/pegawai untuk parlemen, dengan demikian, harus mengikuti proses dan pola perekrutan pegawai secara umum yang tidak selalu cocok dengan kebutuhan lembaga parlemen (NDI, 2005). Lembaga riset parlemen (P3I) misalnya terdiri dari hanya sedikit peneliti (kurang dari 50 orang) dan kinerja mereka dipantau dan dievaluasi oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang tentu saja memiliki kriteria evaluasi berbeda dari lembaga parlemen.

Penelitian the National Democratic Institute pada 2005 juga menemukan bahwa lebih dari 70 persen dari sekitar 1.500 staf yang bekerja di parlemen adalah staf administrasi. Ini tentu saja tidak sesuai dengan kebutuhan kerja parlemen yang memerlukan lebih banyak tenaga ahli untuk mendukung kerjanya. Potret sistem pendukung parlemen seperti ini tidak bermasalah ketika fungsinya hanya sebagai tukang stempel kebijakan eksekutif seperti di era Orde Baru. Namun untuk era sekarang, hal ini sangat bermasalah karena kekuasaan dan kewenangan parlemen yang besar dan harus menjadi penyeimbang eksekutif.
Masalah ketiga dari DPR menjadi penghalang untuk menyelesaikan masalah pertama dan kedua.

Masalah ini adalah tentang citra buruk di masyarakat. Evaluasi lembaga pemantau parlemen seperti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (FORMAPPI) tahun 2009 menunjukkan bahwa citra lembaga ini di mata masyarakat masih sangat rendah. Akibatnya setiap usulan untuk perbaikan kinerja parlemen dari segi fasilitas pasti akan selalu dicurigai masyarakat. Berita terbaru adalah mengenai keinginan DPR untuk membuat gedung baru senilai 1,8 trilyun rupiah dengan alasan perbaikan fasilitas untuk peningkatan kinerja.

Tanggapan masyarakat yang dapat dipantau di berbagai media menunjukkan tidak adanya kepercayaan tersebut. Masalah ketiga ini sekaligus menunjukkan apa sesungguhnya yang harus diperbaiki lebih awal di parlemen. DPR harus bekerja keras untuk menggunakan cara-cara yang strategis guna memperbaiki citranya.

Semua masalah ini, bila tidak segera direformasi, akan membuat parlemen dianggap tidak relevan oleh masyarakat. Pihak DPR tampaknya menyadari hal ini. Karenanya, sejak tahun 2006, DPR membentuk tim peningkatan kinerja (Susanti, 2007). Sayangnya, laporan-laopran dari tim kinerja ini menunjukkan bahwa fokus mereka tidak tertuju pada hal-hal yang bersifat fundamental melainkan hanya pada aspek-aspek mekanisme internal.

Penutup

Apakah parlemen Indonesia sudah menunjukkan karakter sebagai parlemen yang pas? Uraian di atas dapat diringkas menjadi satu kata jawaban: belum. Parlemen Indonesia mungkin sudah dapat melambangkan semua kekuatan sosial politik yang ada di Indonesia, namun kinerjanya masih belum menunjukkan kemampuannya untuk mewakili masyarakat secara efektif.
Koalisi Sistem Presidensial
Kompas, Selasa, 11 Mei 2010 | 03:04 WIB
Oleh Djayadi Hanan

Ada anggapan bahwa koalisi merupakan ciri yang membedakan sistem presidensial dengan sistem parlementer. Beberapa pengamat politik, seperti Sukardi Rinakit (Kompas, 16/2/2010) dan Hanta Yuda AR (Kompas, 13/4/2010), menyatakan bahwa, karena adanya koalisi, kabinet pemerintahan SBY bersifat semi-parlementer atau presidensial setengah hati.

Juga ada anggapan bahwa, karena merupakan ciri sistem parlementer, koalisi dalam sistem presidensial memiliki penyakit bawaan, yakni tidak konsistennya sikap mitra koalisi dari satu kebijakan ke kebijakan lain.

Anggapan semacam ini sebenarnya tidak perlu. Pertama, ia tidak memberikan solusi apa-apa bagi perbaikan sistem politik nasional. Kalaupun ada solusinya, yakni berpindah ke sistem parlementer atau ke sistem presidensial dua partai, terlalu sulit dilaksanakan di Indonesia. Citra buruk tentang sistem parlementer dari masa lalu tampaknya masih belum dapat dilupakan masyarakat politik Indonesia. Membangun sistem dua partai juga sulit dibayangkan mengingat tingkat kemajemukan masyarakat kita. Kedua, anggapan semacam ini juga tak didukung fakta empiris. Karena itu, yang perlu dilakukan sebenarnya lebih pada bagaimana memaknai koalisi dalam sistem presidensial.

Pengalaman negara lain

Pandangan bahwa koalisi bukanlah tradisi sistem presidensial sebenarnya berawal dari anggapan teoretis bahwa sistem ini tidak memiliki cukup insentif untuk membangun koalisi ketika presiden terpilih tidak memiliki cukup mayoritas di lembaga legislatif (DPR). Karena presiden dan anggota DPR sama-sama dipilih oleh rakyat untuk masa yang tetap, eksistensi presiden tidak bergantung pada DPR. Presiden terpilih memiliki kekuasaan untuk membentuk pemerintahan. Selain itu, presiden memiliki kekuasaan konstitusional, seperti kewenangan dekret dan veto yang dapat dipakai untuk menjalankan pemerintahan. Hal-hal ini membuat koalisi jadi sesuatu yang tak terlalu krusial.

Akan tetapi, studi empirik dari para ahli menunjukkan bahwa koalisi dalam sistem presidensial merupakan fenomena yang sama lazimnya dengan sistem parlementer. Dengan menganalisis semua negara demokratis antara 1970-2004, Cheibub (2007), misalnya, membuktikan bahwa pemerintahan koalisi dalam sistem parlementer terjadi sebanyak 39 persen, sementara dalam sistem presidensial 36,3 persen. Dengan menggunakan data tahun 1949- 1999, Cheibub, Przeworski, dan Saiegh (2004) juga menemukan bahwa di kedua sistem, koalisi terjadi sebanyak lebih dari 50 persen ketika partai presiden tidak memiliki mayoritas di lembaga legislatif. Jadi, ada tidaknya koalisi bukanlah pembeda sistem presidensial dan parlementer.

Di dalam sistem presidensial, presiden dari partai minoritas dapat saja membentuk pemerintahan tanpa koalisi. Namun, dia dapat menghadapi masalah dalam menjalankan proses pemerintahan karena ia memerlukan dukungan lembaga legislatif. Di sini ada keperluan yang jelas untuk membangun koalisi. Hanya saja tujuan utamanya bukan pada terbentuk atau tidak terbentuknya pemerintahan, melainkan untuk mengamankan jalannya roda pemerintahan. Karena itu, koalisi dalam sistem presidensial memiliki makna sedikit berbeda dibanding sistem parlementer.

Pihak yang berkoalisi dalam sistem presidensial—terutama pihak presiden—harus menyadari bahwa insentif pendukung koalisi untuk selalu memberikan dukungan penuh kepada eksekutif tidaklah sebesar sistem parlementer. Risiko hilangnya kursi menteri dari sebuah partai ketika bersikap ”mbalelo”, misalnya, tidaklah terlalu tinggi karena ia tidak berujung pada jatuhnya pemerintahan. Selain itu, dukungan terhadap inisiatif kebijakan presiden tidak harus bersifat permanen dari kubu partai-partai yang berkoalisi. Kebijakan tertentu mungkin saja mendapat dukungan dari anggota legislatif dari partai nonkoalisi. Sebaliknya, ada kebijakan tertentu yang membuat partai pendukung koalisi memiliki sikap terbelah.

Pergeseran dukungan semacam ini adalah hal yang biasa, bahkan dalam sistem parlementer. Ini tidak berarti koalisi dalam sistem presidensial tidak berguna. Mengamankan adanya dukungan politik atas inisiatif dan kebijakan presiden adalah penting. Adanya koalisi membuat hal ini menjadi lebih predictable dan sederhana dibandingkan dengan hanya mengandalkan dukungan secara ad hoc dari kebijakan yang satu ke kebijakan lainnya.

Pelajaran untuk Indonesia

Koalisi dalam sistem presidensial adalah realitas politik. Ketimbang mengutuknya, lebih baik mencari jalan agar ia bekerja untuk mendukung jalannya pemerintahan. Presiden dan barisan koalisinya harus bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa mereka memiliki cukup dukungan di DPR untuk meloloskan berbagai kebijakan yang menjadi agenda eksekutif. Apalagi telah terbukti (dalam kasus Century) kalau koalisi partai yang mendukung Presiden dan memiliki kursi di kabinet tidak otomatis jadi pendukung agenda Presiden di DPR.

Presiden juga harus bekerja lebih keras untuk memastikan soliditas partai-partai pendukungnya, tidak cukup hanya mengandalkan dukungan dan jaminan dari ketua umum partai. Mungkin Presiden dapat lebih mengaktifkan pendekatan yang lebih intensif kepada individu-individu atau kelompok-kelompok kecil anggota DPR.

Pihak nonkoalisi alias oposisi tidak perlu dipandang secara statis. Jumlah partai oposisi tidak serta merta mencerminkan besarnya kekuatan oposisi. Dengan pendekatan-pendekatan yang lebih personal, ada di antara mereka yang dapat didekati untuk mendukung kebijakan Presiden. Semua ini akan membuat proses hubungan Presiden-DPR jadi lebih dinamis dan konstruktif.

Djayadi Hanan Kandidat Doktor Ilmu Politik, The Ohio State University; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina