Thursday, November 13, 2014

Gagalnya mekanisme informal DPR

Djayadi Hanan
(Direktur Eksekutif SMRC; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina)
 Dimuat di Majalah Detik, 10-16 November, 2014

 Fenomena “DPR terbelah” sebenarnya bukan hal baru. Tahun 2004, di masa pemerintahan periode pertama SBY, DPR sempat terbelah menjadi koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan. Kursi pimpinan DPR juga disapu bersih oleh koalisi kebangsaan yang dimotori Golkar dan PDIP. Koalisi kerakyatan yang berada di pihak SBY tak mendapat apa-apa.

 Bedanya dengan sekarang, ketika hendak membentuk Alat Kelengkapan Dewan (AKD), terutama pemilihan pimpinannya, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tak kunjung mampu memperoleh kesepakatan. Di Tahun 2004 lalu, koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan dapat segera menyepakati sistem proporsional dalam pengisian pimpinan AKD. Banyak pihak yang menghubungkan terbelahnya DPR ini dengan UU MD3 yang mengatur pemilihan pimpinan di DPR dan AKD dengan prinsip suara terbanyak melalui sistim paket. Ada juga yang menyatakan bahwa fenomena ini adalah kelanjutan dari pertarungan di pemilihan presiden yang baru berlalu.

 Tulisan ini hendak menyatakan bahwa kedua alasan itu bukanlah penyebab utama. UU MD3 di tahun 2004 (dulu bernama Susduk) mengatur mekanisme yang sama dengan yang sekarang dalam soal pemilihan pimpinan DPR dan AKD. Namun DPR tetap mampu memperoleh kesepakatan dan tidak terbelah. Soal pertarungan Jokowi versus Prabowo telah selesai dengan bertemunya kedua tokoh tersebut. Bahkan Prabowo hadir dalam pelantikan Jokowi. Jadi seharusnya sudah terbuka jalan komunikasi yang lapang.

Yang menjadi soal adalah, kali ini mekanisme atau institusi informal DPR, terutama mekanisme lobi dan konsultasi, gagal memfasilitasi kebuntuan komunikasi politik di DPR.

 Mekanisme formal dan informal

 Lembaga politik seperti DPR biasanya memiliki mekanisme formal dan informal dalam menjalankan proses kelembagaannya. Mekanisme formal DPR, yang tersurat dalam UU MD3 dan Tata Tertib DPR tidak dapat memfasilitasi kepentingan dan kebutuhan KMP dan KIH dalam proses pembentukan dan pengisian pimpinan AKD. Misalnya, karena merasa aspirasinya belum terserap, KIH berupaya menghalangi proses AKD melalui mekanisme formal dengan cara tidak mengajukan nama-nama calon anggota AKD , terutama komisi. KMP menangkalnya melalui mekanisme formal dengan mengajak kubu Surya Darma Ali (SDA) dari PPP untuk bergabung sehingga melengkapi syarat formal pengambilan keputusan. Hasilnya DPR terbelah. Jadi mekanisme formal ini tidak dapat memfasilitasi kebuntuan komunikasi politik kedua kubu.

 Pimpinan DPR dan pimpinan fraksi kemudian melakukan mekanisme informal baik lobi maupun konsultasi. Lobi dilakukan melalui pertemuan informal wakil-wakil dari masing-masing fraksi. Konsultasi juga dilakukan melalui pertemuan para pimpinan tidak hanya di fraksi tapi juga melibatkan pimpinan partai politik. Mekanisme lobi dan konsultasi ini sudah dilakukan beberapa kali, tentu dengan waktu dan proses yang informal. Namun seperti kita semua ketahui, mekanisme pemecah kebuntuan inipun tak mampu memecah kebuntuan.

 PDIP, Demokrat, dan Golkar

 Yang menarik, forum konsultasi belum pernah digelar antar pimpinan puncak partai politik. Prinsip kerja lobi dan konsultasi adalah “mengurangi jumlah dan mempertinggi level” peserta di dalamnya. Dalam lobi, bila wakil-wakil berbagai kubu sudah hadir dan kesepakatan belum didapat, lobi bisa dilanjutkan dengan memperkecil jumlah wakil, sampai akhirnya hanya ada satu wakil saja dari setiap kubu. Dalam konsultasi, bila pertemuan tak membuahkan hasil, maka peserta konsultasi berikutnya dinaikan levelnya, sampai akhirnya pimpinan puncak dari masing-masing kubu bertemu. Bila ini juga tak membuahkan hasil, barulah kita harus melibatkan pimpinan paling puncak yakni Kepala Negara. Karena lobi dan konsultasi DPR untuk menentukan proses pembentukan dan pemilihan pimpinan AKD tak kunjung berbuah, maka sudah seharusnyalah konsultasi antar pimpinan puncak partai politik dilakukan. Masalahnya, mungkin justru di sini sumber masalahnya: para pimpinan puncak partai tak bisa bertemu.

 Masalah paling penting dalam relasi antar pimpinan puncak partai politik dalam konteks ini adalah hubungan Megawati dan SBY. Dalam konstelasi politik DPR saat ini, SBY (Partai Demokrat) adalah “swinger”. Kemana SBY berlabuh ke sanalah bandul kemenangan politik akan mengikut. Sepanjang Megawati tak mau bertemu dengan SBY, maka pertemuan pimpinan puncak partai tak akan terjadi karena kedua-duanya adalah ketua umum partai. Pertarungan politik di DPR akan terus diwarnai oleh pertarungan kepentingan level kedua, seperti keperluan partai kecil di KMP untuk memperoleh lebih banyak posisi penting dalam pimpinan AKD.

 Masalah lain adalah keperluan SBY untuk mengamankan Perpu Pilkada langsung yang secara politik mau tak mau diasosiasikan dengan dirinya. Dalam kondisi keterbelahan KMP dan KIH, secara taktis, akan lebih menguntungkan bagi SBY untuk bersama KMP untuk mengamankan suara dukungan terhadap diterimanya Perpu tersebut oleh DPR. SBY menyadari bahwa dengan berada di KMP, meskipun tak mungkin seratus persen, sejumlah elemen di KMP pasti bisa diajak bekerjasama mendukung Perpu Pilkada langsung.

 Masalah lain, Golkar (baca: kubu ARB) memerlukan soliditas KMP. Sebagai Ketua Umum yang dianggap banyak pihak gagal dalam membawa kemenangan Golkar dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden, soliditas KMP diperlukan ARB untuk menunjukkan bahwa Golkar di bawah kepemimpinannya memainkan peranan sangat penting dalam percaturan politik nasional. Soliditas KMP selanjutnya dapat menjadi alat politik ARB untuk menunjukkan bahwa Golkar di bawah kepemimpinannya akan lebih berperan. Keinginan ARB untuk kembali menjadi Ketua Umum melalui Munas Golkar yang akan datang menjadi memiliki alasan yang absah secara politik.

 Belajar dari pengalaman sepuluh tahun pemerintahan SBY, proses lobi dan konsultasi politik sangat sering dilakukan. Hal-hal gaduh seperti soal kebijakan mengenai BBM (terkait BLT atau BLSM), kasus Century, kasus Mafia Pajak dalam skala tertentu berhasil difasilitasi penyelesaiannya melalui mekanisme informal tersebut. Kunci dalam lobi dan konsultasi adalah akomodasi dari “yang lebih kuat/berkuasa” dan orientasi konsensus dari masing-masing kubu. Terlepas dari sisi positif dan negatifnya, kedua sikap dan orientasi inilah yang harus ditunjukkan para pimpinan partai dan politisi kita umumnya saat ini agar kisruh DPR segera berakhir. Selanjutnya DPR akan mampu bekerja secara substantif untuk program-program yang mengutamakan kesejahteraan rakyat.