Monday, July 21, 2008

Masjid, Sandal dan Sepatu

Sejak menikah tahun 2002 lalu saya masih saja jadi kontraktor, alias tempat tinggalnya ngontrak melulu. Meskipun tidak disengaja dari awal, tempat tinggal saya selalu sangat dekat dengan masjid.

Tahun 2003 saya pulang ke Indonesia, setelah sekolah di Athens, Ohio selama dua setengah tahun dan bekerja sebagai sekretaris Konsulat Jenderal RI di Houston selama enam bulan. Istri saya waktu itu masih di Surabaya karena masih bertugas sebagai dokter muda (ko-asisten) di RS Dr. Soetomo. Sementara saya bekerja di Jakarta. Jadilah kami ngontrak di dua tempat. Di Surabaya kami ngontrak di daerah Kedung Sroko. Dibelakang rumah kami masjid Muhammadiyah, sementara di samping rumah ada musholla NU. Di Jakarta saya ngontrak di Kali Pasir. Seingat saya bisa jalan kaki ke setidaknya empat masjid, termasuk masjid Cut Mutia dan Al Fataa (Mentra 58). Sebelumnya ketika masih di Athens, saya bahklan sempat tinggal selama setahun di Islamic Center dan menjadi sekretaris pengurus. Di Konsulat Jenderal RI di Houston, karena hapal beberapa surah dan ayat Qur’an, bisa sedikit mengutip ayat, dan agak bisa khutbah Jum’at (maklum pernah di PII), jadilah saya di “daulat” sebagai Imam tidak resmi musholla KJRI.

Tahun 2004 kami pindah ke Bojong Gede, Bogor. Lagi lagi, secara tak sengaja, dekat masjid besar. Hanya sekitar satu menit jalan kaki. Kurang dari sepeminuman teh dingin kalau memakai bahasa Wiro Sableng. Tahun 2006, istri saya diterima sebagai PNS di Pemerintah Kota Sukabumi. Dia ditugaskan sebagai salah satu dokter disebuah Puskesmas. Kami ngontrak rumah lagi dan secara tak sengaja dekat dengan satu masjid besar dan satu musholla. Karena saya bekerja di Jakarta, saya pun ngontrak di Mampang Prapatan III, dibelakang kampus Universitas Paramadina. Kali ini bisa dibilang berlokasi disamping masjid. Tinggal disini dijamin tak ketinggalan sholat tahajud dan subuh, kecuali kalau telinga kita tuli. “Loudspeaker” masjid yang besar itu sudah mulai bergema sejak sekitar jam setengah empat pagi.

Musim gugur tahun 2007, saya dan keluarga berangkat lagi ke Amerika. Saya harus menyelesaikan S3 atas biaya dari Fulbright. Kali ini saya kuliah di The Ohio State University, Columbus, Ohio. Columbus adalah ibu kota negara bagian Ohio. Ternyata, apartemen kami juga dekat masjid. Namanya masjid Omar Ibn El-Khattab. Berjarak sekitar tiga menit jalan kaki. Kalau musim dingin, saya naik mobil kesana.

Mahasiswa S3 di Amerika adalah “lonely worker,” semuanya tergantung diri sendiri. Para professor tidak terlalu campur tangan. Mau pintar, mau bodoh, tergantung kemauan dan usaha sendiri. Para professor akan dengan senang hati memfasilitasi apa yang kita butuhkan. Karena itu kita kadang merasa jenuh dan kesepian. Pengobatnya biasanya berkumpul bersama keluarga (dan anak). Ini juga alasan mengapa penting membawa keluarga kalau S3 di Amerika. Untuk saya, salah satu hiburannya, selain pengobat kebutuhan ruhaniah, ya pergi ke masjid. Hampir setiap hari selama setahun ini saya sholat maghrib dan isya (juga sholat Jum’at) di masjid ini.

Ada hal yang menarik dan kadang menjengkelkan saya setiap kali sholat disini. Pengurus masjid, setiap akhir sholat, sangat sering mengingatkan jamaah untuk meletakkan sandal dan sepatunya di rak yang telah disediakan dipintu masuk. Awalnya saya berpikir para jamaah ini kan orang-orang terdidik dari berbagai negara. Ada Arab, Mesir, Libya, Maroko, Somali, Amerika, India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Indonesia, dan lain-lain. Haruskah hanya soal sandal dan sepatu mereka diingatkan, dinegeri Amerika pula.

Akan tetapi, setelah saya perhatikan selama setahun ini, memang rak sepatu masjid ini tak pernah rapi. Sekalipun raknya masih belum penuh, bahkan agak kosong, selalu saja banyak jamaah yang meletakkan sepatu dan sandalnya sembarangan. Beberapa pengurus masjid ada yang sampai mengingatkan jamaah sambil marah. Puncaknya adalah hari Sabtu lalu. Kebetulan ada anggota jamaah yang mengadakan hajatan “aqiqah” karena baru dikaruniai bayi laki-laki. Jadi ada makan-makan di masjid setelah maghrib. Banyak pula anak-anak yang hadir dibawa orang tua mereka. Tempat sandal dan sepatu itu benar-benar seperti “kapal pecah,” bahkan mengganggu kelancaran jalan masuk dan keluar. Salah seorang pengurus masjid, tampaknya orang Amerika, dengan suara agak tinggi mengingatkan jamaah soal ini. Dia juga bilang, kalau penyebab makin parahnya kesemrawutan ini adalah anak-anak, tapi yang bertanggungjawab adalah orang tuanya. Dia sampai bilang: “if you can’t teach and be responsible to your children, don’t bring them to the masjid or don’t even have children!”

Sholat sunnah rawatib saya terganggu. Sewaktu duduk selesai sholat, saya agak merenung. Kalau soal sandal dan sepatu saja, sudah lebih dari setahun ini tak selesai, bagaimana kita mau menyelesaikan masalah seperti Palestina? Juga masalah-masalah besar lainnya.

Sunday, July 20, 2008

Agama, Obama, Amerika

Djayadi Hanan

Dinegara maju seperti Amerika, dinegara berkembang seperti Indonesia, soal agama dan politik tampaknya sama saja. Fenomena Barrack Obama di Amerika adalah bukti paling mutakhir betapa agama tak dapat dilepaskan dari kehidupan politik.

Diawal kemunculannya sebagai bakal calon presiden lebih dari setahun yang lalu sebagian publik Amerika mulai mempersoalkan kaitan Obama dengan Islam. Ayahnya yang berasal dari Kenya adalah seorang muslim. Berkembang pula rumor bahwa ketika berada di Indonesia, Obama bersekolah di “madrasah.” Bagi publik Amerika, madrasah berkonotasi sebagai sekolah tempat muslim radikal. Seorang reporter Fox News, ketika membahas masalah ini di sekitar akhir 2007 lalu berkomentar kira-kira begini: “if he really attended a radical muslim school in Indonesia, this is huge!” Kalimat “this is huge” maksudnya untuk menunjukkan bahwa ini adalah masalah besar yang tak boleh diabaikan. CNN kemudian membuat liputan tandingan atas masa lalu Obama di Indonesia. Nyatalah kemudian bahwa Obama hanyalah bersekolah di SD negeri dikawasan Menteng Jakarta Pusat.

Salah satu website kelompok konservatif di Amerika, Human Events, mengulas bahwa bila Obama terpilih sebagai presiden, maka ia akan menjadi presiden muslim pertama di Amerika. Brian Williams, seorang pewawancara terkenal dari NBC Amerika, ketika menjadi panelis dalam debat antara Hillary dan Obama dalam pemilihan pendahuluan di Ohio, juga mengkonfirmasi dan meminta komentar Obama soal kemuslimannya. Kata Brian, “sebagian publik Amerika mempercayai rumor bahwa anda ketika disumpah menjadi senator mewakili Negara Bagian Illinois, tidak menggukana Bible, tapi menggunakan Koran (Qur’an), apa pendapat anda?” Obama ketika itu hanya tersenyum dan sekali lagi menyatakan berita itu bohong dan dia tidak pernah menjadi muslim. Seorang pendeta konservatif, yang menjadi pendukung John McCain, saya lupa namanya, selalu menyebut nama Obama secara lengkap dalam pidatonya: Barrack Hussein Obama. Kata “Hussein” selalu lebih ditekankan dalam penyebutan itu. Maksudnya tentu saja untuk menunjukkan kaitan antara Obama dengan muslim/Islam.

Dalam salah satu FGD (Focused Group Discussion) yang disiarkan oleh stasiun televisi publik PBS, salah satu yang muncul dibenak peserta ketika ditanya soal Obama oleh moderator adalah bahwa dia seorang muslim. Ketika ditanya lagi apa memang benar begitu, kebanyakan peserta itu ragu-ragu. Artinya mereka tidak yakin apa benar Obama bukan muslim. Fenomena paling terkini adalah kartun di surat kabar The New Yorker yang menggambarkan Obama berpakaian seperti Taliban dan Michelle (istrinya) yang berpakaian teroris dan bersenjata, sedang beradu kepalan tangan (tanda keakraban) dengan latar belakan bendera Amerika yang dibakar. Stasiun TV Fox News yang juga memberitakan kartun ini, menyiarkan pula hasil survey terbaru soal kaitan Obama dengan muslim. Dari survey itu, 12 persen publik Amerika percaya bahwa Obama seorang muslim, 32 persen percaya Obama dibesarkan keluarga muslim, dan lebih dari 40 persen percaya bahwa Obama memiliki “muslim connection.”

Apa kesimpulan sementara yang dapat ditarik? Bukan soal benar tidaknya Obama sebagai seorang muslim yang penting. Meskipun secara teoritis demokrasi membolehkan siapa saja menjadi presiden, tampaknya, kesamaan agama antara presiden dengan mayoritas penduduk sudah menjadi semacam kelaziman kalau bukan keharusan tak tertulis. Agama, tetap merupakan hal yang penting dalam politik di Amerika, setidaknya bagi sebagian publik. Selain itu, Islam/muslim, setidaknya bagi sebagian masyarakat Amerika masih dianggap sebagai ancaman. Salah satu sebabnya mungkin adalah kesalahfahaman. Bila benar demikian, tugas kedua belah pihak untuk saling menjelaskan, masih sangat banyak.