Thursday, November 13, 2014

Gagalnya mekanisme informal DPR

Djayadi Hanan
(Direktur Eksekutif SMRC; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina)
 Dimuat di Majalah Detik, 10-16 November, 2014

 Fenomena “DPR terbelah” sebenarnya bukan hal baru. Tahun 2004, di masa pemerintahan periode pertama SBY, DPR sempat terbelah menjadi koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan. Kursi pimpinan DPR juga disapu bersih oleh koalisi kebangsaan yang dimotori Golkar dan PDIP. Koalisi kerakyatan yang berada di pihak SBY tak mendapat apa-apa.

 Bedanya dengan sekarang, ketika hendak membentuk Alat Kelengkapan Dewan (AKD), terutama pemilihan pimpinannya, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tak kunjung mampu memperoleh kesepakatan. Di Tahun 2004 lalu, koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan dapat segera menyepakati sistem proporsional dalam pengisian pimpinan AKD. Banyak pihak yang menghubungkan terbelahnya DPR ini dengan UU MD3 yang mengatur pemilihan pimpinan di DPR dan AKD dengan prinsip suara terbanyak melalui sistim paket. Ada juga yang menyatakan bahwa fenomena ini adalah kelanjutan dari pertarungan di pemilihan presiden yang baru berlalu.

 Tulisan ini hendak menyatakan bahwa kedua alasan itu bukanlah penyebab utama. UU MD3 di tahun 2004 (dulu bernama Susduk) mengatur mekanisme yang sama dengan yang sekarang dalam soal pemilihan pimpinan DPR dan AKD. Namun DPR tetap mampu memperoleh kesepakatan dan tidak terbelah. Soal pertarungan Jokowi versus Prabowo telah selesai dengan bertemunya kedua tokoh tersebut. Bahkan Prabowo hadir dalam pelantikan Jokowi. Jadi seharusnya sudah terbuka jalan komunikasi yang lapang.

Yang menjadi soal adalah, kali ini mekanisme atau institusi informal DPR, terutama mekanisme lobi dan konsultasi, gagal memfasilitasi kebuntuan komunikasi politik di DPR.

 Mekanisme formal dan informal

 Lembaga politik seperti DPR biasanya memiliki mekanisme formal dan informal dalam menjalankan proses kelembagaannya. Mekanisme formal DPR, yang tersurat dalam UU MD3 dan Tata Tertib DPR tidak dapat memfasilitasi kepentingan dan kebutuhan KMP dan KIH dalam proses pembentukan dan pengisian pimpinan AKD. Misalnya, karena merasa aspirasinya belum terserap, KIH berupaya menghalangi proses AKD melalui mekanisme formal dengan cara tidak mengajukan nama-nama calon anggota AKD , terutama komisi. KMP menangkalnya melalui mekanisme formal dengan mengajak kubu Surya Darma Ali (SDA) dari PPP untuk bergabung sehingga melengkapi syarat formal pengambilan keputusan. Hasilnya DPR terbelah. Jadi mekanisme formal ini tidak dapat memfasilitasi kebuntuan komunikasi politik kedua kubu.

 Pimpinan DPR dan pimpinan fraksi kemudian melakukan mekanisme informal baik lobi maupun konsultasi. Lobi dilakukan melalui pertemuan informal wakil-wakil dari masing-masing fraksi. Konsultasi juga dilakukan melalui pertemuan para pimpinan tidak hanya di fraksi tapi juga melibatkan pimpinan partai politik. Mekanisme lobi dan konsultasi ini sudah dilakukan beberapa kali, tentu dengan waktu dan proses yang informal. Namun seperti kita semua ketahui, mekanisme pemecah kebuntuan inipun tak mampu memecah kebuntuan.

 PDIP, Demokrat, dan Golkar

 Yang menarik, forum konsultasi belum pernah digelar antar pimpinan puncak partai politik. Prinsip kerja lobi dan konsultasi adalah “mengurangi jumlah dan mempertinggi level” peserta di dalamnya. Dalam lobi, bila wakil-wakil berbagai kubu sudah hadir dan kesepakatan belum didapat, lobi bisa dilanjutkan dengan memperkecil jumlah wakil, sampai akhirnya hanya ada satu wakil saja dari setiap kubu. Dalam konsultasi, bila pertemuan tak membuahkan hasil, maka peserta konsultasi berikutnya dinaikan levelnya, sampai akhirnya pimpinan puncak dari masing-masing kubu bertemu. Bila ini juga tak membuahkan hasil, barulah kita harus melibatkan pimpinan paling puncak yakni Kepala Negara. Karena lobi dan konsultasi DPR untuk menentukan proses pembentukan dan pemilihan pimpinan AKD tak kunjung berbuah, maka sudah seharusnyalah konsultasi antar pimpinan puncak partai politik dilakukan. Masalahnya, mungkin justru di sini sumber masalahnya: para pimpinan puncak partai tak bisa bertemu.

 Masalah paling penting dalam relasi antar pimpinan puncak partai politik dalam konteks ini adalah hubungan Megawati dan SBY. Dalam konstelasi politik DPR saat ini, SBY (Partai Demokrat) adalah “swinger”. Kemana SBY berlabuh ke sanalah bandul kemenangan politik akan mengikut. Sepanjang Megawati tak mau bertemu dengan SBY, maka pertemuan pimpinan puncak partai tak akan terjadi karena kedua-duanya adalah ketua umum partai. Pertarungan politik di DPR akan terus diwarnai oleh pertarungan kepentingan level kedua, seperti keperluan partai kecil di KMP untuk memperoleh lebih banyak posisi penting dalam pimpinan AKD.

 Masalah lain adalah keperluan SBY untuk mengamankan Perpu Pilkada langsung yang secara politik mau tak mau diasosiasikan dengan dirinya. Dalam kondisi keterbelahan KMP dan KIH, secara taktis, akan lebih menguntungkan bagi SBY untuk bersama KMP untuk mengamankan suara dukungan terhadap diterimanya Perpu tersebut oleh DPR. SBY menyadari bahwa dengan berada di KMP, meskipun tak mungkin seratus persen, sejumlah elemen di KMP pasti bisa diajak bekerjasama mendukung Perpu Pilkada langsung.

 Masalah lain, Golkar (baca: kubu ARB) memerlukan soliditas KMP. Sebagai Ketua Umum yang dianggap banyak pihak gagal dalam membawa kemenangan Golkar dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden, soliditas KMP diperlukan ARB untuk menunjukkan bahwa Golkar di bawah kepemimpinannya memainkan peranan sangat penting dalam percaturan politik nasional. Soliditas KMP selanjutnya dapat menjadi alat politik ARB untuk menunjukkan bahwa Golkar di bawah kepemimpinannya akan lebih berperan. Keinginan ARB untuk kembali menjadi Ketua Umum melalui Munas Golkar yang akan datang menjadi memiliki alasan yang absah secara politik.

 Belajar dari pengalaman sepuluh tahun pemerintahan SBY, proses lobi dan konsultasi politik sangat sering dilakukan. Hal-hal gaduh seperti soal kebijakan mengenai BBM (terkait BLT atau BLSM), kasus Century, kasus Mafia Pajak dalam skala tertentu berhasil difasilitasi penyelesaiannya melalui mekanisme informal tersebut. Kunci dalam lobi dan konsultasi adalah akomodasi dari “yang lebih kuat/berkuasa” dan orientasi konsensus dari masing-masing kubu. Terlepas dari sisi positif dan negatifnya, kedua sikap dan orientasi inilah yang harus ditunjukkan para pimpinan partai dan politisi kita umumnya saat ini agar kisruh DPR segera berakhir. Selanjutnya DPR akan mampu bekerja secara substantif untuk program-program yang mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Saturday, January 8, 2011

Mengevaluasi Sistem Presidensial

Republika, Rabu, 05 Januari 2011 pukul 10:08:00

Djayadi Hanan
Kandidat Doktor Ilmu Politik, Ohio State University, USA;
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Jakarta

Evaluasi terhadap sistem presidensial di Indonesia sepanjang 2010, terutama dari para pengamat, terkesan pesimistis. Sistem ini dianggap tidak berjalan, kepemimpinan presidensial lemah, dan lembaga-lembaga politik beserta aktor di dalamnya tersandera oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek.

Penilaian semacam ini, meski banyak benarnya, terkesan kurang utuh. Salah satu masalahnya adalah kurang jelasnya kerangka evaluasi yang digunakan.
Kerangka evaluasi yang tepat setidaknya mengandung tiga aspek. Pertama, tingkat ketegangan hubungan eksekutif (presiden) dan legislatif. Kedua, stabililitas demokrasi selama pemerintahan berlangsung.

Dan ketiga, tingkat pencapaian agenda-agenda pemerintahan, terutama pembuatan undang-undang. Meski masih bersifat umum, kerangka ini memungkinkan kita melakukan penilaian secara lebih menyeluruh sehingga gambar yang kita peroleh tidak semuanya bernuansa pesimistis.

Kasus dana talangan Bank Century merupakan puncak ketegangan yang terjadi antara Presiden dan DPR sepanjang 2009-2010. Dari awal, kedua pihak bersikukuh pada sikap masing-masing. Kegagalan Presiden menjaga soliditas koalisinya berakhir dengan keputusan DPR yang menyalahkan kebijakan tersebut.

Di sisi lain, Presiden tetap berkeyakinan bahwa kebijakan itu benar dan penanggung jawab langsungnya-Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Boediono (ketika itu--Red)-tidak dapat disalahkan.

Kasus Bank Century menciptakan kondisi yang potensial untuk menjadikan hubungan Presiden dan DPR terkena gridlock (jalan buntu). Karena, periode pemerintahan Presiden tidak bergantung pada DPR, Presiden dapat saja mengabaikan DPR dan beralih pada berbagai perangkat konstitusional yang dia miliki untuk menjalankan pemerintahan.

Sebaliknya, DPR dapat terus menghasilkan keputusan-keputusan yang menghalangi kebijakan Presiden. Hasilnya adalah jalan buntu. Presiden dan DPR tidak dapat bekerja optimal, tetapi keduanya baru bisa diganti pada saat jadwal pemilihan umum tiba.

Akan tetapi, ketegangan legislatif-eksekutif akibat kasus Bank Century tidak membawa akibat lebih jauh berupa gridlock di antara keduanya. Pascakeputusan DPR, Presiden ternyata berhasil melakukan konsolidasi koalisi. Sistem kerja koalisi bahkan lebih teroganisasi dengan terbentuknya sekretariat gabungan (setgab).

Pada saat yang sama, Presiden mengambil jalan kompromi soal kedudukan Menteri Keuangan. Sri Mulyani diganti dan secara politik kasus Bank Century selesai. Presiden dapat meneruskan kembali agenda-agendanya bersama DPR hingga menjelang berakhirnya tahun 2010 lalu.

Ada dua jenis ketegangan yang dapat mengancam stabilitas demokrasi. Pertama, ketegangan vertikal antara pusat dan daerah. Dan kedua, ketegangan horizontal baik di tingkat masyarakat maupun pemerintah (antarlembaga negara) termasuk antara eksekutif dan legislatif.

Di tingkat masyarakat, masih terjadi ketegangan antarkelompok agama. Contoh yang menonjol adalah kasus Ahmadiyah. Namun, tingkat ketegangan inipun tidak sampai mengancam stabilitas demokrasi.

Meski mendapat kritik dari berbagai pihak, pemerintah bersama aparat penegak hukum relatif berhasil menangani kasus-kasus seperti ini.

Yang potensial mengancam stabilitas demokrasi adalah kasus RUU Keistimewaan Yogyakarta. Kasus ini menarik perhatian karena terkait dengan redefinisi hubungan pusat dan daerah serta redefinisi hubungan historis antara negara dan kelompok masyarakat (Kesultanan Yogyakarta).

Perdebatan terjadi di dua tingkat sekaligus: tingkat konseptual soal makna demokrasi; dan tingkat empiris soal sejarah dan fakta politik di lapangan. Kasus ini mudah menjadi pemicu ketegangan yang tinggi antara pusat dan daerah.

Melihat perkembangan kasus ini, tampaknya tidak akan terjadi ketegangan yang berakhir dengan jalan buntu. Sikap para elite, terutama Presiden dan Sultan lebih mengarah kepada sikap akomodatif/kompromi. Partai-partai di DPR lebih banyak yang memiliki sikap berpihak kepada masyarakat Yogyakarta ketimbang sikap pemerintah. Walhasil, stabilitas demokrasi secara umum tidak akan terganggu.

Kinerja pemerintahan, terutama legislasi, masih rendah dan sering menjadi sorotan serta kritik dari masyarakat. Meski secara formal kewenangan legislasi dimiliki DPR, dalam praktiknya legislasi merupakan proses dan produk bersama DPR dan Presiden. Karena itu, kinerja legislasi bermanfaat untuk mengukur kinerja pemerintahan.

Kritik yang paling tajam tertuju pada dua hal. Pertama, kinerja kuantitatif. DPR dan pemerintah menyepakati 70 RUU untuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Namun, hanya delapan di antaranya yang selesai dibahas. Terlihat bahwa kinerja legislasi pemerintahan rendah karena tingkat pencapaiannya hanya sekitar 10 persen.

Kedua, sikap/tingkah laku dan strategi elite pemerintahan. Di tingkat eksekutif, Presiden banyak disoroti soal penanganan berbagai bencana yang dinilai lamban dan terkesan hanya membangun citra. Polemik seputar komentar Presiden tentang monarki dalam konteks pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta juga menonjol. Di tingkat DPR, sikap dan strategi para elite juga mendapat sorotan tajam.

Sebastian Salang dari Formappi, misalnya, menyatakan bahwa DPR banyak melakukan blunder terutama pascakasus Century. Usulan-usulan legislasi DPR tentang dana aspirasi, dana desa, rumah aspirasi, rumah dinas, sampai pembangunan gedung baru yang mencitrakan DPR tidak berpihak kepada rakyat, dinilai sebagai bagian dari berbagai blunder tersebut.

Rendahnya kinerja pemerintahan, terutama di bidang legislasi ini, tentu tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan sistem presidensial. Rendahnya tingkat pencapaian pembahasan RUU, misalnya, tidak disebabkan oleh kesulitan membangun kompromi antara DPR dan Presiden, melainkan terkait langsung dengan kapasitas kelembagaan.

Isi Prolegnas lebih banyak berupa daftar keinginan (wish list) daripada rencana program yang matang. Sebagai contoh, dari 34 RUU yang diusulkan pemerintah saja, hanya sembilan yang sudah berupa draf lengkap.

Walhasil, evaluasi ringkas terhadap tiga aspek kerangka yang saya sebutkan di atas menunjukkan potret campuran (mix) dari kinerja sistem presidensial multipartai di Indonesia. Gambar besarnya mengindikasikan bahwa sistem ini berjalan.

Demokrasi tetap stabil, dalam pengertian tidak ada kebuntuan yang berarti dalam hubungan eksekutif dan legislatif. Namun, gambar lebih detailnya menunjukkan kinerja pemerintahan yang masih rendah. Hal terakhir ini tentu perlu ditelusuri lebih jauh.

Thursday, July 22, 2010

MEMBANGUN SISTEM PARLEMEN INDONESIA YANG PAS: POTRET LEMBAGA LEGISLATIF PASCA ORDE BARU

Tabloid Inspirasi, Selasa, May 25, 2010
Djayadi Hanan

Pengantar

Judul di atas menimbulkan satu pertanyaan penting: Apa yang dimaksud dengan sistem parlemen yang pas bagi sebuah negara? Pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana mencapai atau membangun sistem parlemen yang pas tersebut?

Tidak ada jawaban tunggal dan lengkap atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pengalaman berbagai negara juga menunjukkan banyaknya variasi jawaban atas kedua pertanyaan penting itu. Semuanya tampak kontekstual, tergantung pada situasi ditiap negara dan masyarakat baik dari sisi sejarah, konfigurasi politik, maupun pilihan-pilihan kelembagaan yang tersedia. Akan tetapi kita dapat menarik dua kesimpulan umum. Pertama, lembaga legislatif atau parlemen dapat dikatakan pas bagi sebuah negara apabila ia dapat berperan penting dalam pembuatan kebijakan negara. Parlemen yang berperan dalam kebijakan negara adalah parlemen yang tidak hanya menjadi tukang stempel (rubber stamp) inisiatif kebijakan eksekutif/presiden.

Kedua, lembaga legislatif yang pas bagi sebuah negara adalah lembaga legislatif yang dapat mewakili rakyat secara efektif. Ini berarti, parlemen tidak saja dapat melambangkan semua kekuatan sosial politik masyarakat, tapi juga mampu menyalurkan aspirasi masyarakat dan menerjemahkannya menjadi kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.

Tulisan ini berupaya memotret dengan ringkas parlemen Indonesia dari sudut pandang signifikansi peran dan efektifitasnya sebagai lembaga perwakilan demokratis. Penulis berupaya sedapat mungkin menempatkan pembahasan ini dalam konteks yang lebih luas yang memungkinkan kita melihat parlemen Indonesia diantara parlemen lainnya di dunia. Parlemen dalam tulisan ini diartikan secara longgar sebagai lembaga perwakilan rakyat. Pendefinisian secara longgar ini diperlukan mengingat Indonesia mengenal istilah MPR di samping DPR. Dalam tulisan ini MPR dan DPR dianggap sama sebagai lembaga perwakilan, di samping memang anggota MPR sebagian besar adalah DPR. Indonesia juga mengenal DPD. Namun karena ia tidak memiliki kewenangan pembuatan legislasi, maka DPD tidak menjadi pembahasan ketika membicarakan parlemen dalam tulisan ini.

Empat Fungsi Parlemen

Parlemen atau lembaga perwakilan demokratis dimanapun sesungguhnya dimaksudkan untuk melaksanakan empat fungsi utama (Barkan, 2009). Pertama, menjadi perwakilan masyarakat. Parlemen adalah mekanisme kelembagaan, melaluinya masyarakat mewujudkan pemerintahan yang representatif sehari-hari. Ia hadir untuk mewakili segmen-segmen masyarakat, termasuk membawa konflik masyarakat ke arena parlemen untuk dicarikan solusinya secara demokratis dan non kekerasan.

Kedua, membuat legislasi atau undang-undang. Pada level yang minimum ia dapat berarti sekedar meloloskan undang-undang. Pada level yang lebih signifikan, parlemen ikut membuat kebijakan publik, berpatner dengan eksekutif, dan menggunakan secara optimal input dari masyarakat sipil.

Ketiga, parlemen melakukan pengawasan terhadap eksekutif untuk memastikan bahwa kebijakan yang telah disetujui dilaksanakan dengan sesungguhnya. Keempat, parlemen, secara kelembagaan maupun individu, melayani konstituen. Di parlemen yang menggunakan sistem pemilihan distrik, layanan terhadap konstituen jelas. Tiap anggota parlemen mewakili satu distrik, sehingga tugas dan fungsinya serta konstituen mana yang harus dia layani tergambar dengan gamblang. Di parlemen yang menggunakan sistem proporsional, seringkali layanan konstituen ini tidak begitu jelas batasan-batasannya. Apapun keadaannya, fungsi layanan konstituen bermaksud memastikan bahwa yang diperjuangkan anggota parlemen memiliki akar yang kuat, yakni berbasis pada kebutuhan masyarakat.

Parlemen Indonesia Pasca Orde Baru
A. Parlemen 1999-2004

Parlemen 1999-2004 memainkan peran penting dalam proses transisi demokrasi Indonesia. Diperiode ini parlemen tidak hanya berhasil merampungkan proses amandemen konstitusi, tetapi juga meletakkan kerangka hukum dan politik demokrasi Indonesia dimasa berikutnya.

Parlemen ini adalah hasil pemilihan umum demokratis tahun 1999. Undang-undang tentang Partai Politik dan Pemilu telah memungkinkan semua kekuatan politik besar dan kecil untuk berkompetisi secara demokratis. Elite-elite lama, baik yang menjadi pendukung rejim Suharto maupun yang dulunya mengalami represi, melakukan konsolidasi dalam berbagai bentuk partai politik. Elite-elite baru, misalnya yang tergabung dalam partai berbasis kaum muda terdidik, Partai Keadilan (PK – kini PKS), juga memperoleh jalannya memasuki parlemen. Dengan sistem pemilu proporsional, 48 partai politik bertarung, menghasilkan enam partai yang memperoleh kursi antara 2 dan 34 persen. Partai-partai lainnya juga terwakili, dengan jumlah kursi yang lebih sedikit. Dapat dikatakan bahwa anggota-anggota parlemen periode ini mewakili berbagai latar belakang sosial maupun profesional (Ziegenhain, 2008: 113-122). Ringkasnya, parlemen telah dapat melambangkan berbagai aliran dan kekuatan politik masyarakat.

Dari segi struktur kelembagaan, parlemen periode ini masih merupakan kelanjutan dari era Orde Baru. Mekanisme kerjanya (seperti peraturan tata tertib), termasuk proses pengambilan keputusan, masih tidak terlalu berbeda dengan masa lalu. Jika kita bandingkan Peraturan Tata Tertib versi 2001 dengan versi 1997, tidak banyak perbedaan penting yang dapat kita lihat. Yang berbeda adalah dimasukkannya hak dan tugas parlemen hasil amandemen UUD 1945. Pemungutan suara (voting) juga sudah diakomodasi dan secara formal dianggap sama pentingnya dengan musyawarah-mufakat. Kewenangan parlemen secara umum masih berdasarkan aturan-aturan yang belum berubah di UUD 1945, yakni parlemen yang berciri setengah parlementer. Dengan demikian, parlemen periode ini merupakan parlemen yang sangat kuat (termasuk memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan presiden) dan legitimasinya tinggi (karena terpilih secara demokratis). Kuatnya parlemen secara politik memang satu hal yang diperlukan dalam era awal transisi demokrasi

Salah satu ciri penting parlemen Indonesia adalah konsosiasional yakni “kompromi berdasarkan mekanisme mediasi dan keputusan bersama dalam penentuan agenda dan kerja lelgislatif, serta pentingnya peran komisi dan sub-komisi dalam proses legislatif” (diterjemahkan bebas dari Liebert, 1990: 17-18). Amandemen konstitusi yang dilakukan secara gradual dan selesai pada 2004 (Ellis, 2007: 21-40) dapat menggambarkan ciri ini. Proses amandemen ini secara substantif dilakukan oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I MPR dibawah pimpinan Jacob Tobing dari PDIP dengan anggota yang mewakili semua fraksi. Dalam panitia ini semua isu substantif seperti kelembagaan DPR, pemerintahan daerah, hak azazi manusia, kewarganegaraan, dan keamanan, dibahas. Kecenderungan utama dari proses amandemen ini adalah upaya untuk membatasi dominannya kekuasaan eksekutif dan memperkuat lembaga legislatif. Hasil pembahasan, termasuk sejumlah isu yang tidak dapat dibahas tuntas dikembalikan kepada sidang pleno yang memiliki kata akhir. Dengan mekanisme seperti ini parlemen dapat mencakup proses negosiasi politik maupun substansi yang seluas mungkin.

Isu lain yang penting dalam parlemen periode ini adalah keberadaan militer dalam politik. Telah disetujui dalam parlemen sebelumnya bahwa militer tetap memiliki keanggotaa dilembaga legislatif, dengan jumlah yang berkurang dari 100 menjadi 38 anggota. Ini berarti militerpun tetap terlibat dalam semua proses diparlemen, termasuk ketika membicarakan nasib militer. Hal yang positif dari proses ini adalah hasil akhir harus dianggap sebagai keputusan dari semua kekuatan, termasuk militer. Hal ini membatasi kemungkinan militer melakukan manuver politik diluar proses parlemen untuk menolak hasil keputusan. Hal ini juga memberi kontribusi bagi berhasilnya amandemen.

Pemilihan presiden oleh MPR diperiode ini juga menggambarkan pentingnya peran parlemen dalam proses transisi demokrasi. Pemilihan Gus Dur sebagai presiden pertama di era pasca Orde Baru menggambarkan faksionalisme yang lebih luas, setidaknya dikalangan elite Indonesia secara umum. Faksi Megawati, yang memenangi 34 persen suara, mewakili faksi nasionalis. Sementara faksi Habibie lebih banyak didominasi oleh faksi berbasis Islam. Melalui proses kompromi berbasis musyawarah-mufakat di parlemen, berujung pada terpilihnya Gus Dur. Pentingnya peran parlemen, terutama karena memiliki kewenangan yang kuat, juga ditunjukkan ketika terjadi proses pemakzulan Gus Dur. Isu korupsi yang dituduhkan kepada Gus Dur, setidaknya bagi sebagian pihak, belum begitu jelas. Akan tetapi, terlepas dari baik atau buruknya, parlemen dapat mengakhiri kontroversi tersebut, sehingga proses pemerintahan dan demokrasi dapat terus berlanjut.

Secara spesifik, DPR diperiode ini telah mulai menunjukkan peran pentingnya, terutama dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Kebijakan-kebijakan Presiden Megawati seperti pendanaan renovasi barak militer/polisi sejumlah 30 milyar rupiah ditahun 2002, kunjungan Presiden ke Timor Timur untuk menghadiri perayaan hari kemerdekaannya pada Mei 2002, serta pembelian pesawat tempur dari Rusia, memperoleh kritik dan pembahasan yang tajam dari DPR (Ziegenhain, 2008: 145). Fungsi DPR lainnya, penganggaran dan legislasi, gaungnya belum sekuat fungsi pengawasan. Akan tetapi prosesnya tampak telah lebih dinamis. RUU APBN dan RUU lainnya, menurut UUD 1945 harus dibahas di DPR. Untuk menggambarkan proses ini seorang anggota DPR mengibaratkan proses pembahasan berbagai RUU seperti “perang opini” antara pihak DPR dan pihak Pemerintah.

B. Parlemen 2004 – 2009
Pada periode ini, kesan bahwa parlemen lebih kuat daripada eksekutif tidak ada lagi seiring dengan diterapkannya sistem presidensial murni di Indonesia. Karena itu, tantangan utama parlemen periode ini adalah bagaimana melaksanakan check and balance terhadap Eksekutif. Namun demikian, posisi parlemen tetaplah kuat, terutama karena ia memiliki kewenangan sebagai lembaga pembuat undang-undang. Parlemen juga tetap memiliki fungsi pengawasan sebagai instrumen kelembagaan untuk mengkritisi Pemerintah. Lebih dari itu, konstitusi memberikan kewenangan tambahan kepada parlemen untuk terlibat dalam penunjukan duta besar, pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menerima/menolak penunjukan Hakim Agung dan anggota Komisi Yudisial, menunjuk tiga dari sembilan anggota Hakim Konstitusi, dan sejumlah kewenangan lainnya. Disisi lain, Presiden, karena dipilih secara langsung melalui Pemilu, adalah presiden yang kuat, jauh lebih kuat dibanding presiden dari era sebelumnya.

Peran penting parlemen, setelah kerangka umum demokrasi diletakkan di periode 1999-2004, adalah memastikan agar semua aturan main tersebut ditegakkan melalui fungsi pembuatan undang-undang serta bagaimana membuatnya diterima oleh semua pihak masyarakat. Fungsi legislasi parlemen menjadi sangat penting disini. Rekam jejak parlemen dalam konteks ini bersifat campuran antara keberhasilan dan kegagalan.
Salah satu contoh sukses adalah berhasil disepakatinya undang-undang tentang pemerintahan Aceh yang terutama berisi pemberian otonomi khusus kepada daerah Aceh. Setelah perjanjian damai antara pemerintah pusat dan pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka) tercapai pada Juli 2005, muncul satu keraguan apakah pihak parlemen akan meratifikasi perjanjian tersebut atau tidak (Pusat Data Tempo, Juli 2005). Juga terdapat pertanyaan mengenai sikap dan posisi pihak militer. Akan tetapi, melalui berbagai konsultasi dan pembahasan intensif baik dengan kelompok-kelompok local di Aceh, maupun dengan pihak-pihak dilevel nasional, parlemen akhirnya berhasil menyepakati Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh pada bulan Agustus 2006, satu tahun setelah perjanjian damai disepakati. Kasus ini, secara umum, menunjukkan kemampuan parlemen dalam melakukan integrasi proses dan kekuatan-kekuatan politik dari pemerintah pusat, pihak GAM, militer, serta berbagai kelompok local masyarakat sehingga proses pelembagaan aturan-aturan demokrasi tetap berjalan. Keluarnya undang-undang ini juga memastikan bahwa salah satu tantangan terhadap kesatuan nasional, satu elemen penting untuk bertahannya demokrasi (Linz dan Stepan, 1996) dapat diatasi. Ini dikarenakan kemampuan parlemen dalam mengintegrasikan kelompok separatis (dalam hal ini GAM) kedalam proses politik dalam kerangka nasional Indonesia.

Akan tetapi, cerita relatif sukses seperti diatas, bukanlah cerita dominan dalam parlemen periode ini. Satu penelitian dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyimpulkan bahwa kinerja legislasi parlemen masih rendah (Susanti, 2007). Di tahun 2005 parlemen menyelesaikan 14 dari 55 undang-undang yang ditargetkan. Hanya dua dari 14 undang-undang ini yang dapat dikategorikan undang-undang substantif. Lainnya berupa undang-undang pemekaran wilayah. Di tahun 2006, dari 76 undang-undang yang ditargetkan, hanya 39 yang berhasil diselesaikan. Sekitar separuh dari yang berhasil diselesaikan ini merupakan undang-undang tentang pemekaran wilayah. Contoh lain adalah tentang Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang sebenarnya telah diagendakan sejak 2002, memerlukan dua periode parlemen sampai ia diselesaikan pada tahun 2008.

Proses legislasi yang lambat, sekalipun konstitusi menuntut parlemen sebagai pusat pembuatan undang-undang, tampaknya diakibatkan oleh sejumlah masalah kelembagaan di DPR (ibid). Pertama, prosedur legislasi terlalu berfokus pada proses pembahasannya, dan tidak memperhatikan proses secara keseluruhan termasuk persiapan, pembahasan, pengundangan, dan sosialisasi. Peraturan tata tertib parlemen masih belum mampu mengatasi masalah distribusi tugas diantara anggota secara efektif. Ukuran komisi dan sub-komisi juga masih terlalu besar (lebih dari 50 anggota) sehingga menyulitkan pembahasan, sering tidak quorum, rendah dalam hal keterbukaan, dan sebagainya. Kedua, metode pembiayaan pembahasan rancangan undang-undang yang selama ini berdasarkan jumlah sesi pembahasan mendorong pemborosan. Makin banyak sesi pembahasan, maka makin banyak dana yang harus dikucurkan kepada anggota yang terlibat dalam pembahasan. Ketiga, kapasitas sumberdaya pendukung yang rendah. Anggota parlemen tidak dilengkapi secara memadai dengan staf-staf dengan keahlian khusus untuk menangani berbagai isu undang-undang yang kompleks. Memang telah terdapat tim pendukung yang biasanya membantu pimpinan ditiap komisi dengan keahlian yang bersifat umum seperti ekonomi, hukum dan politik. Belakangan memang sudah mulai ada perekrutan satu staf ahli untuk setiap anggota namun efektifitasnya masih harus dilihat. Ringkasnya, kapasitas parlemen dalam mendukung beban berat fungsi legislasi tampak masih lemah. Salah satu dampaknya, sebagian besar rancangan undang-undang, utamanya yang substantif, masih berasal dari eksekutif.

Seperti diera sebelumnya, fungsi pengawasan parlemen tampak kuat. Dalam berbagai kebijakan dan keputusan, Presiden harus berkonsultasi dan memperoleh otorisasi dari parlemen. Dalam isu-isu yang secara publik populer, misalnya harga bahan bakar minyak, anggota-anggota parlemen tampak aktif dan kuat dalam mengkritisi Presiden. Tampak kuatnya fungsi pengawasan ini kemungkinan disebabkan oleh sifatnya yang reaktif sehingga tidak memerlukan terlalu banyak sumber daya untuk menganalisis kebijakan eksekutif. Dalam fungsi ini juga anggota parlemen dapat menunjukkan dengan mudah posisinya kepada publik: menolak atau menerima kebijakan tertentu. Namun ada sisi lain, yakni kuatnya fungsi ini dapat dipakai oleh anggota DPR untuk meningkatkan posisi tawarnya untuk mengakses sumber-sumber finansial yang ada di eksekutif. Misalnya, ada anggapan umum bahwa setiap kali ada proses penunjukan pimpinan Bank Sentral dan para direktur perusahaan-perusahaan negara, anggota parlemen yang vokal sebenarnya sedang berupaya membangun deal dengan pihak eksekutif, terutama soal uang (Ziegenhain, 2008: 145).

Jadi, berbeda dengan era 1999-2004, parlemen periode 2004-2009, meskipun tampak kuat secara kelembagaan, dalam prakteknya masih lemah dalam berhadapan dengan eksekutif. Masalah lemahnya kinerja legislatif dan kinerja lainnya, dapat kita hubungkan dengan sejumlah masalah kelembagaan yang belum sempat direformasi. Hal ini akan dibahas dibagian akhir tulisan ini.


Hikmat Kebijaksanaan dan Kerakyatan: Relasi Dengan Eksekutif

Sejak 2004, ketika sistem presidensial murni mulai dilaksanakan, lembaga kepresidenan dan parlemen sama-sama kuat. Kekuasaan legislatif dan non-legislatif presiden meliputi kekuasaan anggaran, pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, usulan RUU, pembentukan kabinet, pemberhentian kabinet, dan tidak adanya mosi tidak percaya dari parlemen. Di sisi lain, parlemen memiliki kekuasaan legislasi, anggaran, dan pengawasan serta sejumlah kekuasaan lainnya. Parlemen juga tidak dapat dibubarkan oleh presiden.

Dengan kedudukan yang sama kuat tersebut, sistem presidensial diramalkan oleh banyak teoritisi akan banyak mengalami kebuntuan (gridlock/deadlock) dalam konteks hubungan eksekutif – legislatif (Linz dan Valenzuela, 1994; Shugart dan Carey, 1992). Hal ini dikarenakan kedua belah pihak dapat saling adu kuat dengan kewenangannya masing-masing. Untuk mengatasi hal ini, dalam konteks Indonesia, hikmah kebijaksanaan harus diterjemahkan sebagai keperluan untuk bekerja sama antara eksekutif dan legislatif. Sehingga jembatan antara kedua lembaga untuk berfungsi sehari-hari harus diciptakan. Inilah tampaknya alasan mengapa kalimat persetujuan bersama dalam pembuatan undang-undang yang tercantum dalam konstitusi diterjemahkan sebagai keterlibatan presiden dan parlemen dalam setiap tahap pembuatan undang-undang, baik yang berasal dari usul parlemen maupun usul presiden/eksekutif.

Dalam praktek, proses legislasi secara umum, dan anggaran secara khusus, mengharuskan eksekutif dan legislatif bekerja sama. Bila sebuah RUU merupakan inisiatif parlemen, RUU tersebut harus disampaikan kepada pihak presiden. Selanjutnya presiden akan menugaskan timnya untuk berpatner dengan parlemen untuk melakukan pembahasan melalui penugasan yang disebut Amanah Presiden (AMPRES).
Bila RUU berasal dari Presiden, maka parlemen akan membicarakannya dan menugaskan komisi tertentu atau komisi gabungan (Panitia Khusus – Pansus) untuk membahas RUU tersebut bersama-sama dengan tim dari eksekutif. Mekanisme seperti ini memungkinkan negosiasi multi-track yang memungkinkan kedua belah pihak menyelesaikan perbedaan-perbedaan atau pertentangan-pertentangan secara tahap demi tahap. Proses hikmah kebijaksanaan ini membuat kemungkinan adanya kebuntuan dapat dikurangi sehingga kekhawatiran para teoretisi tersebut dapat diminimalisasi.

Setidaknya ada dua sisi buruk dari mekanisme ini. Pertama, mekanisme ini menciptakan situasi saling mengunci (interlocking) antara kedua pihak. Dengan kata lain, pihak yang satu akan bereaksi terhadap inisiatif dari pihak lain, dan akan memilih reaksi yang memungkinkan mereka bekerjasama. Dampaknya, kedua pihak akan cenderung membawa usulan-usulan yang tidak kontroversial atau yang paling mudah disetujui pihak lain. Dampak selanjutnya adalah pada rendahnya kualitas legislasi. Adalah kenyataan umum kalau legislasi di Indonesia banyak sekali yang mengandung klausul yang menyerahkan aturan yang lebih rinci kepada peraturan dibawah undang-undang. Biasanya klausul ini mudah muncul karena pembicaraan tentang detail akan lebih banyak menimbulkan reaksi ketimbang membahas aturan-aturan yang bersifat umum saja.

Kedua, model hikmah kebijaksanaan ini seringkali melupakan rakyat. Dengan kepentingan untuk lebih banyak bekerjasama, seringkali negosiasi antara eksekutif dan legislatif dilakukan melalui kesepakatan-kesepakatan tertutup (behind closed door). Kesepakatan-kesepakatan yang diambil seringkali lebih bersifat ad hoc, didasari oleh kepentingan individual atau kelompok.

Masalah/Tantangan Parlemen Indonesia:

Ada sejumlah masalah/tantangan parlemen Indonesia yang perlu segera diselesaikan. Pertama,
meskipun memiliki kewenangan untuk membahas dan mengesahkan APBN setiap tahun, ketika menyusun anggaran operasionalnya sendiri, parlemen masih sangat tergantung kepada menteri keuangan (Saefullah., dkk., 2007). Berdasarkan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, pengelolaan anggaran parlemen menjadi tanggungjawab sekretariat jenderal. Setiap tahun, atas nama parlemen, sekretariat jenderal ikut menegosiasikan usulan anggaran parlemen dengan menteri keuangan. Hal ini membuat parlemen secara keuangan tergantung dengan pihak eksekutif, suatu hal yang aneh mengingat parlemenlah yang harus membahas dan mengesahkan usulan RAPBN dari pihak eksekutif.

Keanehan ini dapat pula menjadi sumber permainan politik. Misalnya, pihak eksekutif dapat saja menerima semua usulan anggaran dari parlemen, dengan syarat parlemen nantinya akan menerima semua usulan anggaran eksekutif tanpa banyak kritik atau pembahasan substantif dari parlemen. Salah satu kenyataan dari hal ini misalnya, usulan anggaran dari eksekutif umumnya selalu diterima di parlemen, sekalipun ada persoalan besar seperti ketidakpatuhan pada konstitusi yang mensyaratkan 20 persen anggaran dialokasikan untuk pendidikan. Mahkamah Konstitusi telah beberapa kali membuat keputusan yang menyatakan bahwa UU APBN tidak memenuhi amanat konstitusi karena tidak mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan.

Masalah kedua adalah sekretariat jenderal parlemen sebagai lembaga pendukung utama kerja parlemen masih merupakan bagian dari eksekutif. Penunjukan Sekretaris Jenderal memang diusulkan oleh Pimpinan Parlemen namun secara administratif kepegawaian dia berada dibawah Sekretariat Negara. Pengisian staf/pegawai untuk parlemen, dengan demikian, harus mengikuti proses dan pola perekrutan pegawai secara umum yang tidak selalu cocok dengan kebutuhan lembaga parlemen (NDI, 2005). Lembaga riset parlemen (P3I) misalnya terdiri dari hanya sedikit peneliti (kurang dari 50 orang) dan kinerja mereka dipantau dan dievaluasi oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang tentu saja memiliki kriteria evaluasi berbeda dari lembaga parlemen.

Penelitian the National Democratic Institute pada 2005 juga menemukan bahwa lebih dari 70 persen dari sekitar 1.500 staf yang bekerja di parlemen adalah staf administrasi. Ini tentu saja tidak sesuai dengan kebutuhan kerja parlemen yang memerlukan lebih banyak tenaga ahli untuk mendukung kerjanya. Potret sistem pendukung parlemen seperti ini tidak bermasalah ketika fungsinya hanya sebagai tukang stempel kebijakan eksekutif seperti di era Orde Baru. Namun untuk era sekarang, hal ini sangat bermasalah karena kekuasaan dan kewenangan parlemen yang besar dan harus menjadi penyeimbang eksekutif.
Masalah ketiga dari DPR menjadi penghalang untuk menyelesaikan masalah pertama dan kedua.

Masalah ini adalah tentang citra buruk di masyarakat. Evaluasi lembaga pemantau parlemen seperti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (FORMAPPI) tahun 2009 menunjukkan bahwa citra lembaga ini di mata masyarakat masih sangat rendah. Akibatnya setiap usulan untuk perbaikan kinerja parlemen dari segi fasilitas pasti akan selalu dicurigai masyarakat. Berita terbaru adalah mengenai keinginan DPR untuk membuat gedung baru senilai 1,8 trilyun rupiah dengan alasan perbaikan fasilitas untuk peningkatan kinerja.

Tanggapan masyarakat yang dapat dipantau di berbagai media menunjukkan tidak adanya kepercayaan tersebut. Masalah ketiga ini sekaligus menunjukkan apa sesungguhnya yang harus diperbaiki lebih awal di parlemen. DPR harus bekerja keras untuk menggunakan cara-cara yang strategis guna memperbaiki citranya.

Semua masalah ini, bila tidak segera direformasi, akan membuat parlemen dianggap tidak relevan oleh masyarakat. Pihak DPR tampaknya menyadari hal ini. Karenanya, sejak tahun 2006, DPR membentuk tim peningkatan kinerja (Susanti, 2007). Sayangnya, laporan-laopran dari tim kinerja ini menunjukkan bahwa fokus mereka tidak tertuju pada hal-hal yang bersifat fundamental melainkan hanya pada aspek-aspek mekanisme internal.

Penutup

Apakah parlemen Indonesia sudah menunjukkan karakter sebagai parlemen yang pas? Uraian di atas dapat diringkas menjadi satu kata jawaban: belum. Parlemen Indonesia mungkin sudah dapat melambangkan semua kekuatan sosial politik yang ada di Indonesia, namun kinerjanya masih belum menunjukkan kemampuannya untuk mewakili masyarakat secara efektif.
Koalisi Sistem Presidensial
Kompas, Selasa, 11 Mei 2010 | 03:04 WIB
Oleh Djayadi Hanan

Ada anggapan bahwa koalisi merupakan ciri yang membedakan sistem presidensial dengan sistem parlementer. Beberapa pengamat politik, seperti Sukardi Rinakit (Kompas, 16/2/2010) dan Hanta Yuda AR (Kompas, 13/4/2010), menyatakan bahwa, karena adanya koalisi, kabinet pemerintahan SBY bersifat semi-parlementer atau presidensial setengah hati.

Juga ada anggapan bahwa, karena merupakan ciri sistem parlementer, koalisi dalam sistem presidensial memiliki penyakit bawaan, yakni tidak konsistennya sikap mitra koalisi dari satu kebijakan ke kebijakan lain.

Anggapan semacam ini sebenarnya tidak perlu. Pertama, ia tidak memberikan solusi apa-apa bagi perbaikan sistem politik nasional. Kalaupun ada solusinya, yakni berpindah ke sistem parlementer atau ke sistem presidensial dua partai, terlalu sulit dilaksanakan di Indonesia. Citra buruk tentang sistem parlementer dari masa lalu tampaknya masih belum dapat dilupakan masyarakat politik Indonesia. Membangun sistem dua partai juga sulit dibayangkan mengingat tingkat kemajemukan masyarakat kita. Kedua, anggapan semacam ini juga tak didukung fakta empiris. Karena itu, yang perlu dilakukan sebenarnya lebih pada bagaimana memaknai koalisi dalam sistem presidensial.

Pengalaman negara lain

Pandangan bahwa koalisi bukanlah tradisi sistem presidensial sebenarnya berawal dari anggapan teoretis bahwa sistem ini tidak memiliki cukup insentif untuk membangun koalisi ketika presiden terpilih tidak memiliki cukup mayoritas di lembaga legislatif (DPR). Karena presiden dan anggota DPR sama-sama dipilih oleh rakyat untuk masa yang tetap, eksistensi presiden tidak bergantung pada DPR. Presiden terpilih memiliki kekuasaan untuk membentuk pemerintahan. Selain itu, presiden memiliki kekuasaan konstitusional, seperti kewenangan dekret dan veto yang dapat dipakai untuk menjalankan pemerintahan. Hal-hal ini membuat koalisi jadi sesuatu yang tak terlalu krusial.

Akan tetapi, studi empirik dari para ahli menunjukkan bahwa koalisi dalam sistem presidensial merupakan fenomena yang sama lazimnya dengan sistem parlementer. Dengan menganalisis semua negara demokratis antara 1970-2004, Cheibub (2007), misalnya, membuktikan bahwa pemerintahan koalisi dalam sistem parlementer terjadi sebanyak 39 persen, sementara dalam sistem presidensial 36,3 persen. Dengan menggunakan data tahun 1949- 1999, Cheibub, Przeworski, dan Saiegh (2004) juga menemukan bahwa di kedua sistem, koalisi terjadi sebanyak lebih dari 50 persen ketika partai presiden tidak memiliki mayoritas di lembaga legislatif. Jadi, ada tidaknya koalisi bukanlah pembeda sistem presidensial dan parlementer.

Di dalam sistem presidensial, presiden dari partai minoritas dapat saja membentuk pemerintahan tanpa koalisi. Namun, dia dapat menghadapi masalah dalam menjalankan proses pemerintahan karena ia memerlukan dukungan lembaga legislatif. Di sini ada keperluan yang jelas untuk membangun koalisi. Hanya saja tujuan utamanya bukan pada terbentuk atau tidak terbentuknya pemerintahan, melainkan untuk mengamankan jalannya roda pemerintahan. Karena itu, koalisi dalam sistem presidensial memiliki makna sedikit berbeda dibanding sistem parlementer.

Pihak yang berkoalisi dalam sistem presidensial—terutama pihak presiden—harus menyadari bahwa insentif pendukung koalisi untuk selalu memberikan dukungan penuh kepada eksekutif tidaklah sebesar sistem parlementer. Risiko hilangnya kursi menteri dari sebuah partai ketika bersikap ”mbalelo”, misalnya, tidaklah terlalu tinggi karena ia tidak berujung pada jatuhnya pemerintahan. Selain itu, dukungan terhadap inisiatif kebijakan presiden tidak harus bersifat permanen dari kubu partai-partai yang berkoalisi. Kebijakan tertentu mungkin saja mendapat dukungan dari anggota legislatif dari partai nonkoalisi. Sebaliknya, ada kebijakan tertentu yang membuat partai pendukung koalisi memiliki sikap terbelah.

Pergeseran dukungan semacam ini adalah hal yang biasa, bahkan dalam sistem parlementer. Ini tidak berarti koalisi dalam sistem presidensial tidak berguna. Mengamankan adanya dukungan politik atas inisiatif dan kebijakan presiden adalah penting. Adanya koalisi membuat hal ini menjadi lebih predictable dan sederhana dibandingkan dengan hanya mengandalkan dukungan secara ad hoc dari kebijakan yang satu ke kebijakan lainnya.

Pelajaran untuk Indonesia

Koalisi dalam sistem presidensial adalah realitas politik. Ketimbang mengutuknya, lebih baik mencari jalan agar ia bekerja untuk mendukung jalannya pemerintahan. Presiden dan barisan koalisinya harus bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa mereka memiliki cukup dukungan di DPR untuk meloloskan berbagai kebijakan yang menjadi agenda eksekutif. Apalagi telah terbukti (dalam kasus Century) kalau koalisi partai yang mendukung Presiden dan memiliki kursi di kabinet tidak otomatis jadi pendukung agenda Presiden di DPR.

Presiden juga harus bekerja lebih keras untuk memastikan soliditas partai-partai pendukungnya, tidak cukup hanya mengandalkan dukungan dan jaminan dari ketua umum partai. Mungkin Presiden dapat lebih mengaktifkan pendekatan yang lebih intensif kepada individu-individu atau kelompok-kelompok kecil anggota DPR.

Pihak nonkoalisi alias oposisi tidak perlu dipandang secara statis. Jumlah partai oposisi tidak serta merta mencerminkan besarnya kekuatan oposisi. Dengan pendekatan-pendekatan yang lebih personal, ada di antara mereka yang dapat didekati untuk mendukung kebijakan Presiden. Semua ini akan membuat proses hubungan Presiden-DPR jadi lebih dinamis dan konstruktif.

Djayadi Hanan Kandidat Doktor Ilmu Politik, The Ohio State University; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina

Tuesday, May 19, 2009

Fundamentals of Ibn Khaldun’s Historical Science
(From "The Muqaddimah")
Djayadi Hanan

For Ibn Khaldun, history is a science and a branch of philosophy. It is based on scientific objectives, reasoning, and methods. As a science, history must be committed to the effort of getting at the truth and separating it from the falsehood. These scientific characteristics, therefore, must be reflected in the objectives, methods, and subjects of history. The practice of history based on these criteria will enable us to categorize good historian and bad historian and correct the false information revealed by bad history.

The objective of history is about getting at the truth. Hence, it must be about explanation, about how and why, and about the causal factors related to both actors and events. History is about generalization, not merely dealing with particular. History is also about sorting out the information we have to make sure that they are information that conform the facts and logic. History cannot be dealing only with the tradition that is transmitted from time to time from one generation to another. Thus, history is not only about description of information about actors and events from the past. This does not mean however, that descriptive history is unimportant because it can serve larger public in understanding human affairs in general.

To serve this kind of objective, historian must be rigorous in dealing with information. First, there must be strong effort to get at the truth. “Critical eye” only, according to Ibn Khaldun is not enough because errors and false assumptions almost always accompany historical information. Speculative method of thinking, called as enlightening speculation by Ibn Khaldun, is crucial in unmasking the falsehood in historical information. Using good speculative mind and thoroughness will keep historian from slips and errors. Second, the writing of history requires numerous sources and knowledge. Various sources will enable the historian to cross-check the information while varied knowledge makes him be able to evaluate the information values not only by confronting it to, for instance, fundamental facts of politics, the nature of civilization or conditions governing social organizations, but also by comparing the remote/ancient materials with the near/contemporary ones. Ibn Khaldun argues that the accuracy of information is absolutely important, especially when dealing with figures such as sum of money and number of soldiers. For example, it is logically impossible to believe the historical account from al-Mas’udi about the number of Israelites’ army during Moses time which was reported to be 600,000 or more because of various reasons such as the size of territory which will be too small for their battle formation against Egypt and Syiria. In short, to get to the truth of the information, historian must carefully consider the factual proof and circumstantial evidence surrounding it.

Third, in order to be able to implement these two requirements, historian must conduct many steps in his historical examination and account. One is “to know the principles of politics, the nature of things, and the differences among nations, places, and periods” (p. 24). Two is to compare past and present and know the causes of similarities and differences. Three is to be aware of the different factors that bring historical events and actors such as dynasties and religious groups into being. Four is to check the transmitted information with the basic principles of knowledge. And five is to have a goal of having complete knowledge of causality of events and their origins.

The fourth factor to be rigorous in history is to be aware that history is about change. Awareness about this is often difficult because the process of change is sometimes deeply hidden and only becomes apparent after a long period of time. This is also the reason why not many individuals can easily be aware of it. This awareness is crucial in order for historian to identify and explain the causality of historical actors, events, and processes. Finally, history is about generalization. History, argues Ibn Khaldun “refers to events that are peculiar to a particular age or race” (p. 29). The task of the historian is to uncover the underlying general conditions of events and actors across time and space/regions. This task constitutes the foundation of historian. Thus, for instance, the work of al-Mas’udi, Muruj adh-dhahab, which mentions the conditions of regions and nations in the East and the West of his time, because of its capability of generalization, became the basic reference of historians and principal source of historical information.

What does historical science account for? According to Ibn Khaldun, history is an independent science with its own particular subject which is human civilization and social organization. It has its own particular research problem which is to explain “the conditions that attach themselves to the essence of civilization” (p. 39). Ibn Khaldun sometimes refers to the subjects of history more concretely as examination and account of dynasties, leaders, nations, and great events. From this, one could argue that his historical science is elitist because it deals with great actors/men and great events. In explaining about change for example, Ibn Khaldun reveals this elitist view by saying that “the customs of each race depend on the customs of its ruler” (p. 25). This subject of history, Ibn Khaldun further argues, makes it different from other science such as rhetoric which is concerned with convincing the mass through the use of words, or with politics which is concerned with the home or city administration in order to preserve the life of the community. Because of having its own subject and being distinct from other science, Ibn Khaldun claims that history “is an entirely original science” (p. 39).

Having laid out his fundamentals of historical science, Ibn Khaldun is now able to judge good and bad history as well as good and bad historian. A bad historian deals with bad history. Bad history, contrary to the fundamentals described above, is basically non-scientific history or history with bad method. It is featured by mere description of information or just following the transmitted information from the previous accounts, particularistic account, negligence of the change, or too brief in its presentation, making it not more that the list of names, facts, or events. The basis of this kind of history is unreliable, often fictitious, information and bad method. There are a lot of accounts fall into this category. One example is the story of “Copper City” from al-Mas’udi which says that the city was built of copper in desert of Sijilmasah during Musa b. Nusayr time which contradicts the principles of building and planning the cities. Ibn Khaldun cites numerous stories of this fictitious kind to argue that there are a lot of bad histories and historians out there.

A bad historian is a historian who cannot reveal or uncover the untruth that afflicts his historical information. There are many reasons why this problem is often unavoidable. First is because of partisanship. When a historian is too committed to a certain opinion or school of thought, he runs the risk of being not impartial in receiving and processing information. Second is the reliance upon the transmitter. Many transmitters are not authoritative and do not know the significance of their observation. Third is unawareness of the purpose of event. When an unknowledgeable transmitter passes down the historical information he will attach his own understanding of event’s significance which leads to the falsehood. Fourth is unfounded assumption about the truth. This is still related to the reliance upon the transmitter. Fifth is the ignorance of conformity between conditions and reality. This is related to inability of confronting the information with the facts or unavailability of checking and cross-checking methods. Sixth is too much focus of high ranking persons with a lot of fame and praise as information sources. Information from such a person is not reliable because of the tendency of human soul for fame and praise. And finally, the bad historian is characterized by the ignorance of the contexts of civilization. If historian has no knowledge of the nature of the world of existence, he can be misled by the peculiarity and particularity of the context of civilization. This will make him unable to separate the truth from the untruth, the particular from the general, and the reliable history from the absurd story.

In conclusion, Ibn Khaldun’s historical science is based on the scientific approach to history. History for him deals with uncovering the truth and explanation of causality in events, actors, human social organization and civilization in general. Such a history must have a rigorous method which will enable the historian to carefully and systematically crafting the historical information to be a good history.

Wednesday, April 8, 2009

The Legacy of Greece, Alexandria, and the Orient
In the Early Islamic Science and Philosophy
(Summarized from Majid Fakhry's A History of Islamic Philosophy)

By 641 CE, the Arab conquest over Near East had been completed. Welcomed by most of the people there as the liberator, the Arab ruler did not interfere so much on various academies that had become the centers of studying theology, philosophy, and other subjects for centuries. During this Arab rule, therefore, studies centers such as Edessa, Qinnesrin, Harran and Jundishapur were still flourishing and continued their contribution in the development of theology, philosophy, and other scientific subjects of the time.

The expansion of administrative area, not surprisingly, brought new challenges to Arab ruler. One of the main challenges is practical problem such as how to keep the accounts and record of the state in which the Arab ruler did not have experience before. At the beginning, the policy was to leave it as it was both in terms of bookkeeping and the bookkeepers. Minister of finance in the Mu’awiya period for instance, was held by Sarjun b. Mansur (the grandfather of St. John of Damascus) who held the same position during the Byzantines. Triggered by the use of Arabic as the new official language, the change, especially the translation of texts from Greek and Persian, soon initiated particularly during the reign of Umayyad caliph ‘Abdul Malik (685-705).

The translation of various texts had been made possible by several factors. First, practical consideration—to solve certain practical problems and to develop certain type of practical knowledge (practical discipline)—called for the translation of bookkeeping, and earliest scientific and medical texts in medicine, alchemy, and astrology. Initiator of this translation is the Umayyad Prince Khalid b. Yazid, followed by various translators such as Masarjawaih on medical compendium, Abdullah b. al-Muqaffah on texts like Kalilah wa Dimnah, Khudai Nameh, Ayin Nameh, the Book of Mazda and Biography of Anushirwan. The second factor is the availability of patrons. Well-known among these patrons are the Barmakid family who was very enthusiastic on Greek learning especially on the Emperor of Anushirwan, the Banu Musu family who provided generosity on the acquisition and translation of Greek texts such as Treatise on the Atom and Treatise on the Eternity of the World, and of course the caliphs themselves such as Harun al Rashid and al-Ma’mun of the ‘Abbasid. The third factor is the policy of the caliph or the state. During Harun’s time, astronomical works such as Indian’s Siddhanta, Quadripartius of Ptolemy, and several of Persians’ were translated. During al-Ma’mun’s reign, the tendency or theological bias of the caliph toward rationalist thinkers (Mu’tazilah) provided opportunities for many theological and philosophical works, especially from Greek.

While the practical disciplines such as medicine and astrology marked the beginning of translation of works from Greek, Persian and Indian, it was during the reign of caliphs Harun and al-Ma’mun that marked the flourish of the translation of philosophical works. Among the early translators is Yahia b. al-Bitriq who translated the Plato’s Timeous, Aristotle’s De Anima which greatly contributed to Arab’ conception of Aristotle’s psychology, and other works of Aristotle such as the zoological corpus, Analytica Priora, and the Secret of Secrets. Al-Ma’mun also established Bait al-Hikmah (House of Wisdom) which became the center of translation and research of the “ancient learning.” Another important translator of Greek philosophy and science is Hunain b. Ishaq (809-973) who under the patron of Banu Musa not only translated the original texts but also re-translated and scrutinized the existing translations to look at their accuracy. He translated and retranslated Galen’s Treatise on Demonstration, Hypothetical Syllogism, Ethics, paraphrasing Plato’s Sophist, Parmenides, Crytyalus, Euthydemus, Timeous, Statesman, Republic, and Laws. There were also other translation of Aristotelian works by Hunain’s associates including his son Ishaq, his nephew Hubaish, and his disciple Isa b. Yahya who were responsible for the translation of Catogories, the Hermeneutica, the Physica, the Ethica, De Plantis and several others. Equal to the greatness of Hunain was Qusta b. Luqa who translated many Greek’s works and revised the existing translations. His works include The Saying of the Philosophers, The Difference between Soul and Spirit, A Treatise of the Atom, A Political Treatise, The Physica, and many others. Other translators were Abu Bishr Matta and Yahia b. Adi whose works were on, for instance, Analytica Posteriora, Introduction to Analytica, and Treatise on Conditional Syllogism.

Most of these translators were Christian of the Nestorian or Jacobite sect with the exception of the pagan astrologer-philosopher Thabit al-Qurra whose famous works were on, among others, Nature of Stars and Their Influence, Principles of Ethics, and Music. There were abundant other translators whose works in general encompass wide range of topics in science, theology and philosophy, long range of time from early Greek, Persian and Indian, and across languages at the time.

Categorized further, these works of translations and retranslations from Greek include the Pre-Socratic, Peripatetics, and Stoics types of works. From Pre-Socratic, the two most prominent are Empedocles and Phytagoras. Phytagoras’ influence was later institutionalized in a fraternity movement called Ikhwan al Shafa (the Brethren of Purity) which arose in Basrah during the mid of eight century. From Peripatetic philosophers, the most well known translated works were of Theoprastus, Eudemus, Alexander of Aphrodisias, Themistius, and Olympiodorus. Works can be mentioned here are Alexander’s On the Intellect, Eudemian Ethics, and Repositoty of Wisdom (Siwan al Hikmah). From Stoic type of philosophy, Arabic sources mentioned the works of Chrisippus and Zeno of Citium.

The Neo-Patonic elements of philosophical works during Arab rule also important to be mentioned. The most important influence of Greek in this case was not the Aristotle’s famous Metaphysica, but rather, the alleged Aristotle’s compilation of the Theologia. Translated for al-Kindi by a Syirian Christian ‘Abd al-Masih b. Na’imah of Emessa, the Theologia, together with another Greek work, the De Causis, illuminated the dogma of emanation in Islamic philosophy. Emanation is a doctrine of “the One and the manner in which it generates the whole order of being beneath it” (p.22). This doctrine, more elaborately, explains that the divine nature is “the First Cause and that time and the aeon (al-dahr) are both beneath it, and that it is the cause of the causes and their author, after a fashion; and that the luminous virtue (or power) shines forth from it upon Reason;… Soul; … Nature” (p.23). All things according to this dogma are the emanation of the One (the First) and the Soul orders or governs either the world of forms or the particular. Islamic Neo-Platonism philosophy was then surrounded by discussion of the First Principle or God, the emanation of things from Him, the role of Reason as a God instrument of creation, the position of the Soul, and about the matter as the basest creation and the lowest rung in the cosmic scale.

The great influence of Greek philosophy did not obstruct the absorption of other influence from Persian and Indian works into the Islamic philosophy and science. It must be noted however, that the Muslims’ interest in Indian philosophy was not as great as their interest in Indian astronomy and medicine. Of this not so great influence, the anonymous treatise on Religious Beliefs of the Indians seems to be important among Arab philosophers. The copy of this work had been reported as part of the handwriting of al-Kindi, for instance. Part of the works of Indian philosophy appeared in a significant portion in the work of al-Biruni (ca. 1048) in his treatise On the Truth about the Beliefs of India. However this work came too late to have an influential impact on Muslim philosophy compared to the one from the Greek. It is also possible that through the work of al-Razi about Atomism, as a reaction against Aristotelianism, Indian philosophy can be traced. The discussion of Barahima and Sumaniya are another possibility of looking at the Indian influence on Muslim philosophy. Barahima views that prophethood or commissioning of prophet by God is altogether unnecessary. Sumaniya was an Indian sect which was also mentioned in the Arab sources, cited as a kind of skeptical epistemology which sees any supersensible knowledge as impossible.

Also influential is the Persian works. Through the works of Ibn al-Mukaffa this Persian impact can be traced. The main theme of this Persian influence is related to Manichean dualism. The polemics against heretic well-known as Zindiq are related very much to Manicheanism. A greater influence of Persian works and culture came later from new generation of Persian thinkers and philosophers. Most of this influence were marked by the works of Muslim thinkers of Persian origin such as Sibawayh (a grammarian), Ibn Sina (a philosopher), al-Razi (a physician), and al-Ghazali (a theologian).

Monday, July 21, 2008

Masjid, Sandal dan Sepatu

Sejak menikah tahun 2002 lalu saya masih saja jadi kontraktor, alias tempat tinggalnya ngontrak melulu. Meskipun tidak disengaja dari awal, tempat tinggal saya selalu sangat dekat dengan masjid.

Tahun 2003 saya pulang ke Indonesia, setelah sekolah di Athens, Ohio selama dua setengah tahun dan bekerja sebagai sekretaris Konsulat Jenderal RI di Houston selama enam bulan. Istri saya waktu itu masih di Surabaya karena masih bertugas sebagai dokter muda (ko-asisten) di RS Dr. Soetomo. Sementara saya bekerja di Jakarta. Jadilah kami ngontrak di dua tempat. Di Surabaya kami ngontrak di daerah Kedung Sroko. Dibelakang rumah kami masjid Muhammadiyah, sementara di samping rumah ada musholla NU. Di Jakarta saya ngontrak di Kali Pasir. Seingat saya bisa jalan kaki ke setidaknya empat masjid, termasuk masjid Cut Mutia dan Al Fataa (Mentra 58). Sebelumnya ketika masih di Athens, saya bahklan sempat tinggal selama setahun di Islamic Center dan menjadi sekretaris pengurus. Di Konsulat Jenderal RI di Houston, karena hapal beberapa surah dan ayat Qur’an, bisa sedikit mengutip ayat, dan agak bisa khutbah Jum’at (maklum pernah di PII), jadilah saya di “daulat” sebagai Imam tidak resmi musholla KJRI.

Tahun 2004 kami pindah ke Bojong Gede, Bogor. Lagi lagi, secara tak sengaja, dekat masjid besar. Hanya sekitar satu menit jalan kaki. Kurang dari sepeminuman teh dingin kalau memakai bahasa Wiro Sableng. Tahun 2006, istri saya diterima sebagai PNS di Pemerintah Kota Sukabumi. Dia ditugaskan sebagai salah satu dokter disebuah Puskesmas. Kami ngontrak rumah lagi dan secara tak sengaja dekat dengan satu masjid besar dan satu musholla. Karena saya bekerja di Jakarta, saya pun ngontrak di Mampang Prapatan III, dibelakang kampus Universitas Paramadina. Kali ini bisa dibilang berlokasi disamping masjid. Tinggal disini dijamin tak ketinggalan sholat tahajud dan subuh, kecuali kalau telinga kita tuli. “Loudspeaker” masjid yang besar itu sudah mulai bergema sejak sekitar jam setengah empat pagi.

Musim gugur tahun 2007, saya dan keluarga berangkat lagi ke Amerika. Saya harus menyelesaikan S3 atas biaya dari Fulbright. Kali ini saya kuliah di The Ohio State University, Columbus, Ohio. Columbus adalah ibu kota negara bagian Ohio. Ternyata, apartemen kami juga dekat masjid. Namanya masjid Omar Ibn El-Khattab. Berjarak sekitar tiga menit jalan kaki. Kalau musim dingin, saya naik mobil kesana.

Mahasiswa S3 di Amerika adalah “lonely worker,” semuanya tergantung diri sendiri. Para professor tidak terlalu campur tangan. Mau pintar, mau bodoh, tergantung kemauan dan usaha sendiri. Para professor akan dengan senang hati memfasilitasi apa yang kita butuhkan. Karena itu kita kadang merasa jenuh dan kesepian. Pengobatnya biasanya berkumpul bersama keluarga (dan anak). Ini juga alasan mengapa penting membawa keluarga kalau S3 di Amerika. Untuk saya, salah satu hiburannya, selain pengobat kebutuhan ruhaniah, ya pergi ke masjid. Hampir setiap hari selama setahun ini saya sholat maghrib dan isya (juga sholat Jum’at) di masjid ini.

Ada hal yang menarik dan kadang menjengkelkan saya setiap kali sholat disini. Pengurus masjid, setiap akhir sholat, sangat sering mengingatkan jamaah untuk meletakkan sandal dan sepatunya di rak yang telah disediakan dipintu masuk. Awalnya saya berpikir para jamaah ini kan orang-orang terdidik dari berbagai negara. Ada Arab, Mesir, Libya, Maroko, Somali, Amerika, India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Indonesia, dan lain-lain. Haruskah hanya soal sandal dan sepatu mereka diingatkan, dinegeri Amerika pula.

Akan tetapi, setelah saya perhatikan selama setahun ini, memang rak sepatu masjid ini tak pernah rapi. Sekalipun raknya masih belum penuh, bahkan agak kosong, selalu saja banyak jamaah yang meletakkan sepatu dan sandalnya sembarangan. Beberapa pengurus masjid ada yang sampai mengingatkan jamaah sambil marah. Puncaknya adalah hari Sabtu lalu. Kebetulan ada anggota jamaah yang mengadakan hajatan “aqiqah” karena baru dikaruniai bayi laki-laki. Jadi ada makan-makan di masjid setelah maghrib. Banyak pula anak-anak yang hadir dibawa orang tua mereka. Tempat sandal dan sepatu itu benar-benar seperti “kapal pecah,” bahkan mengganggu kelancaran jalan masuk dan keluar. Salah seorang pengurus masjid, tampaknya orang Amerika, dengan suara agak tinggi mengingatkan jamaah soal ini. Dia juga bilang, kalau penyebab makin parahnya kesemrawutan ini adalah anak-anak, tapi yang bertanggungjawab adalah orang tuanya. Dia sampai bilang: “if you can’t teach and be responsible to your children, don’t bring them to the masjid or don’t even have children!”

Sholat sunnah rawatib saya terganggu. Sewaktu duduk selesai sholat, saya agak merenung. Kalau soal sandal dan sepatu saja, sudah lebih dari setahun ini tak selesai, bagaimana kita mau menyelesaikan masalah seperti Palestina? Juga masalah-masalah besar lainnya.